Jadi dalam hal pengelolaan sampah perkotaan yang berkelanjutan penting untuk bukan saja mengedukasi masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya, namun juga agar secara aktif melakukan pengurangan sampah dan penanganan sampah. Memilih untuk menggunakan tas belanja daripada kantong kresek dan menggunakan saputangan daripada tissue adalah contoh dari upaya pengurangan sampah. Sementara penanganan sampah dapat masyarakat lakukan dengan melakukan pemilahan sampah, membuat kompos dan mendaur ulang sampah.Â
Dalam melakukan pengelolaan sampah perkotaan, Pemerintah Kabupaten/Kota perlu beranjak dari pendekatan kebersihan dan keindahan kota kepada pengelolaan sampah perkotaan yang terintegrasi mulai dari sumber sampah hingga ke TPA. Sesuai dengan definisi TPS (Tempat Penampungan Sementara) dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 dan peraturan pelaksananya, tidak serta merta semua sampah dari TPS diangkut ke TPA. Sampah yang sudah terpilah di TPS semestinya diangkut lebih dahulu ke tempat pendauran ulang, pengolahan, dan/atau tempat pengolahan sampah terpadu. Persoalannya kebanyakan pemerintah kabupaten/kota tidak memiliki fasilitas pengolahan sampah antara (intermediate waste processing facility).Â
Berbeda dengan Jepang, sebagaimana penulis saksikan selama mengikuti Staff Enhancement Program dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana - Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PUSBINDIKLATREN - BAPPENAS) di Tokyo tanggal 2-28 Oktober 2017. Tidak ada TPS berupa kotak beton seperti di Indonesia, warga kota Tokyo mengumpulkan sampahnya sesuai jenis pada hari yang telah ditentukan ke titik pengumpulan (collection points).
Dari collection points sampah diangkut oleh petugas kebersihan kota ke beberapa fasilitas yang berbeda sesuai jenis sampahnya. Sampah yang bisa didaur ulang seperti botol plastik, botol kaca dan kaleng minuman dibawa ke Recycling Center untuk diproses dan dimanfaatkan atau dijual. Sampah berupa sisa makanan dan sampah dari dapur dibawa ke incineration plant untuk dibakar dengan suhu di atas 800oC.
Sampah berukuran besar seperti ranjang, lemari dan meja yang rusak diangkut ke large-sized waste processing center untuk dipotong/dicacah. Material berharga seperti alumunium dan besi dikumpulkan dan material sisa yang bisa dibakar diangkut ke incineration plant. Sementara untuk sampah keramik (toilet bekas, bongkaran lantai) dan sampah logam diangkut ke incombustible waste processing center untuk dipotong/dicacah). Material berharga seperti alumunium dan besi dikumpulkan.
Jadi yang dibawa ke TPA hanyalah residu yaitu sisa sampah yang tidak dapat diolah di fasilitas-fasilitas tersebut, seperti abu sisa pembakaran dari incineration plant dan cacahan sampah yang tidak bisa dibakar. Itulah sebabnya Jepang bisa mengurangi secara signifikan jumlah sampahnya yang ditimbun di TPA. Sebagai contoh pada tahun 2015 dari total 43,98 juta ton timbulan sampah hanya 9,48% saja yang diangkut ke TPA. Dengan demikian umur pakai TPA pun menjadi lebih panjang.
Awalnya Jepang juga menggunakan pendekatan kebersihan dan keindahan kota dalam mengelola sampahnya. Semua sampah kota diangkut untuk langsung dibuang di TPA. Hingga kemudian peristiwa "GARBAGE WAR" pada tahun 1971 yang dipicu oleh warga Kota Koto yang memprotes dan memblokade jalan yang dilalui truk-truk pengangkut sampah dari 23 kota di Tokyo yang menuju TPA di daerah mereka.
Sejak saat itu Pemerintah Metropolitan Tokyo (membawahi 23 kota) melakukan pengelolaan sampah kota secara terpadu dengan mengembangkan fasilitas-fasilitas pengolahan sampah sebagaimana diuraikan di atas. Disertai dengan kesadaran masyarakatnya untuk mengurangi dan memilah sampahnya. Saat ini Jepang telah berhasil menekan jumlah timbulan sampah kota dan jumlah yang ditimbun di TPA tidak sampai 10% nya saja.
Tahun ini Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah telah berusia 10 (sepuluh) tahun. Melalui Surat Edarannya tertanggal 15 Januari 2018 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengajak seluruh Gubernur, Bupati, dan Wali Kota se-Indonesia untuk memanfaatkan Hari Peduli Sampah Nasional 2018 yang puncak peringatannya jatuh pada tanggal 21 Februari 2018 sebagai momentum untuk melakukan corrective action serta aktualisasi gerakan bersama antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam mewujudkan Indonesia Bersih Sampah Tahun 2025.
Kita dapat memulai dengan mengoreksi persepsi bahwa TPS bukanlah Tempat Pembuangan Sampah melainkan Tempat Penampungan Sementara, dan TPA bukanlah Tempat Pembuangan Akhir melainkan Tempat Pemrosesan Akhir. Karena itu semestinyalah dibangun fasilitas pengolahan sampah antara TPS dan TPA. Tidak harus membangun yang baru, Pemerintah Kabupaten/kota dapat memberdayakan Bank Sampah yang telah ada sebagai pusat daur ulang dan pembuatan kompos. Residu yang tidak bisa diolah di Bank Sampah barulah kemudian diangkut ke TPA.
Di TPA pun dilakukan pemrosesan antara lain menutup sampah dengan tanah secara berlapis, serta mengelola air lindi dan gas metana yang dihasilkan dari sampah tersebut. Konsep 3R (Reduce, Reuse & Recycle) harus dipopulerkan hingga tertanam di kesadaran pribadi warga kota. Setidaknya warga kota sadar untuk melakukan pemilahan sampah. Untuk menjamin sampah tetap terpilah dapat ditentukan jadwal pengumpulan sampah yang berbeda sesuai jenisnya.
Semoga tulisan ini dapat memotivasi kita untuk berbuat lebih dari hanya membuang sampah pada tempatnya. Bila kita hanya tahu membuang saja, kasihan para petugas kebersihan kota. Kasihan TPA kita. Ingat TPA bukan Tempat Pembuangan Akhir!
*Penulis telah membuat tulisan mengenai penangulangan sampah bagian pertama yang terdapat pada tautan ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H