[caption caption="www.realisticoverdose.com/2014/03/speak-up-or-shut-up.html"]“Maaf saya cuma bergurau”, “Saya tidak bermaksud demikian, maaf bila anda tersinggung”. Begitu kita sering dengar pembelaan diri dari orang yang ‘terlambat’ menyadari dampak dari kata-katanya.
Ya, kata-kata bukan saja menjadi sarana mengungkapkan kenyataan (revealing reality), tapi punya kekuatan (power) untuk membentuk kenyataan (shaping reality). Saat kenyataan yang dibentuk dengan kata-kata – mungkin dengan modus bercanda – berbeda dengan kenyataan yang sesuai fakta dan tidak dapat diterima oleh (para) pendengarnya, maka terjadilah konflik. Akibatnya bisa saja ada korban terluka karena konflik yang dipicu oleh kata-kata ini, mungkin satu pihak atau kedua belah pihak, atau malah pihak ketiga yang menjadi korbannya, tergantung intensitas & sebaran konfliknya.
Buat orang yang berbicara asal nyeplos saja dengan alasan bergurau, tanpa berpikir apa dampak dari kata-kata yang diucapkannya, tepatlah apa tertulis dalam Amsal Sulaiman: “Seperti orang gila menembakan panah api & maut”. Karena tak terarah, maka jatuhlah korban.
Jadi semestinya memang sebelum berkata-kata perlu lebih dulu berpikir secara bijak. Supaya kata-kata yang dikeluarkan menjadi perkataan yang membangun. Lebih dari itu, mungkin ini saatnya kita memeriksa diri: bukankah “apa yang keluar dari mulut berasaldari hati”?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H