Mohon tunggu...
Arfan Taufik
Arfan Taufik Mohon Tunggu... Lainnya - Analis Permasalahan Hukum

Kriminolog. Pengamat isu HAM, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan keamanan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Tragedi Sidoarjo: Saat Kasih Sayang Berlumur Darah, Ketika Rumah Menjadi Kuburan dan Anak Menjadi Algojo

11 Januari 2025   23:25 Diperbarui: 13 Januari 2025   11:38 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Evakuasi korban yang dibunuh anak kandungnya sendiri (Sumber: Khumaidi/TVOneNews)

Tragedi Sidoarjo: Saat Kasih Sayang Berlumur Darah, Ketika Rumah Menjadi Kuburan dan Anak Menjadi Algojo

 

Langit malam di Klantingsari, Sidoarjo, mendadak berubah kelam. Di sebuah rumah sederhana yang tak pernah sekalipun menyimpan misteri, darah berceceran. Dindingnya menjadi saksi bisu kekerasan paling primitif, paling purba, paling menyayat hati. Seorang ayah, seorang lelaki tua yang telah melintasi hidup dengan beban dunia di pundaknya, terkulai tak bernyawa. Pelaku? Putranya sendiri. Sang anak kandung. Buah hati yang dulu dielus dengan cinta kini berubah menjadi tangan kematian yang menghujamkan nisan di rumah mereka sendiri.

Lantas, bagaimana bisa? Apakah ini bagian dari sindrom "father complex" yang menghantui psikologi modern? Ataukah ini sekadar kegilaan yang lahir dari tekanan hidup yang menumpuk bagaikan jerami kering yang menunggu percikan api? Mari kita gali lebih dalam. Mari kita bedah luka ini dengan pisau analisis yang tajam, hingga tak ada darah yang tersisa di sudut-sudut tersembunyi.

Malam itu, tepatnya tanggal 15 Desember 2024, tetangga-tetangga di Klantingsari mendengar suara yang tak lazim. Benturan-benturan keras seperti batu yang dihantam ke dinding berkali-kali. Seperti dentuman palu di bengkel maut. Suara-suara ini menghantui udara, melayang-layang sebelum akhirnya membawa warga berbondong-bondong menuju sumber suara. Dan di sana, mereka menemukan pemandangan yang membuat kepala pening, perut mual, dan dada sesak.

Badrun Sholeh, seorang pria berusia 60 tahun, terbujur kaku. Kepalanya hancur. Sementara itu anaknya, Sholeh Udin berusia 30 tahun, duduk termenung. Mata kosong, bibir bergetar, tapi tangan berlumur darah. Apa yang terjadi di kepala anak ini? Mengapa dia memilih untuk membenturkan kepala ayahnya sendiri ke tembok berulang kali? Apakah ini karya setan atau tragedi manusia yang dibiarkan membusuk terlalu lama tanpa solusi?

Kriminologi menawarkan satu lensa untuk memahami ini: Teori Psikopatologi Kriminal yang dikembangkan oleh Cesare Lombroso. Menurut teori ini, ada sesuatu yang intrinsik, sesuatu yang biologis atau psikologis, yang mengarahkan seseorang pada perilaku keji. Dalam kasus ini, dugaan awal mengarah pada depresi yang dialami Sholeh. Depresi yang, jika dibiarkan tanpa pengobatan atau perhatian, bisa berubah menjadi monster yang menggerakkan tangan untuk membunuh.

Cesare Lombroso (Sumber: Wikipedia)
Cesare Lombroso (Sumber: Wikipedia)
Namun, teori Lombroso yang berbasis biologis ini juga menuai kritik karena terlalu deterministik. Di zaman modern, pendekatan psikopatologi telah berkembang dengan memasukkan faktor biopsikososial. Ketidakseimbangan serotonin atau dopamin dalam otak, trauma masa kecil, serta tekanan sosial dapat bersinergi menciptakan ledakan emosi yang mematikan. Dalam konteks Sholeh, depresi mungkin hanyalah puncak gunung es dari luka-luka yang lebih dalam, baik secara biologis maupun lingkungan.

Tapi depresi saja tak cukup untuk menjelaskan semuanya. Kita hidup di zaman ketika media sosial seperti TikTok dan Instagram menjadi panggung tempat kita menampilkan versi terbaik dari diri kita. Tapi di balik layar, di rumah-rumah sempit seperti milik Badrun dan Sholeh, ada kegelapan yang tak pernah tersentuh kamera. Kegelapan yang tumbuh karena tekanan ekonomi, hubungan keluarga yang retak, dan sistem kesehatan mental yang kerap diabaikan oleh negara. Sholeh mungkin hanyalah produk dari masyarakat yang lebih sibuk membangun gedung pencakar langit daripada membangun jaring pengaman sosial.

Apakah ini terdengar familiar? Ya, karena ini bukan kasus pertama. Ingat kasus Chris Watts di Colorado, Amerika Serikat, yang membunuh istri dan kedua anaknya karena tekanan finansial? Atau kasus Ryan Grantham, aktor yang membunuh ibunya karena depresi yang membusuk? Kasus-kasus ini menjadi cermin bahwa tragedi semacam ini bukan eksklusif milik satu bangsa atau budaya. Ini adalah penyakit global yang mengintai siapa saja, di mana saja.

Tetapi apakah kita hanya akan berhenti di situ? Tentu saja tidak. Kita harus bertanya lebih jauh: di mana negara saat Sholeh menunjukkan tanda-tanda depresi? Di mana dokter? Di mana konselor? Mengapa Sholeh tidak dirawat sejak awal ketika tanda-tanda gangguan mental mulai muncul? Apakah kita semua terlalu sibuk mengurusi politik identitas dan perang opini di media sosial sampai lupa bahwa ada manusia yang sekarat dalam sunyi?

Kritik terhadap sistem kesehatan mental di Indonesia sudah sering dilontarkan. Namun, kasus ini menambah catatan hitam bahwa reformasi kesehatan jiwa di negeri ini hanya ada di atas kertas. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa seharusnya menjadi pagar yang melindungi orang-orang seperti Sholeh. Tapi pagar itu tampaknya hanya dibangun di atas pasir.

Sementara itu, media dan netizen dengan cepat menghakimi. Komentar-komentar di media sosial lebih sibuk membahas apakah ini karma, kutukan, atau dosa keluarga. Narasi mistis masih mendominasi cara kita memandang tragedi, seolah logika dan analisis ilmiah hanya pantas untuk mereka yang kuliah di luar negeri. Padahal, kita tahu bahwa kekerasan semacam ini bukan soal klenik, melainkan soal kebijakan yang cacat dan masyarakat yang enggan peduli.

Kini Sholeh menjalani pemeriksaan di RSJ Lawang, Malang. Tapi apakah itu cukup? Apakah kita akan membiarkan kisah ini berakhir di ruang tertutup rumah sakit jiwa, sementara ribuan Sholeh lainnya masih berkeliaran di luar sana tanpa bantuan? Kasus ini harus menjadi alarm. Alarm yang memaksa kita untuk mereformasi sistem kesehatan mental, mengintegrasikan teknologi modern untuk mendeteksi gangguan psikologis sejak dini, dan mengedukasi masyarakat bahwa gangguan jiwa bukan aib melainkan penyakit yang bisa disembuhkan.

Untuk mendukung argumen ini, mari kita lihat data empiris. Menurut WHO, lebih dari 800.000 orang meninggal setiap tahun akibat bunuh diri, dan gangguan mental seperti depresi menjadi penyebab utamanya. Di Indonesia, prevalensi gangguan jiwa berat mencapai 7 per 1.000 penduduk, menurut Riset Kesehatan Dasar 2018. Namun, fasilitas kesehatan jiwa dan tenaga profesional masih sangat minim, dengan hanya 51 RSJ yang terdiri dari 32 RSJ milik pemerintah dan 19 RSJ milik swasta  di seluruh negeri. Ini adalah gambaran nyata dari sistem yang gagal.

Badrun telah menjadi korban. Sholeh telah menjadi algojo. Tapi kita semua adalah saksi. Dan menjadi saksi bukan berarti diam. Ini saatnya untuk marah, untuk menangis, untuk berpikir keras, dan akhirnya untuk bertindak. Seperti yang dikatakan sastrawan Pramoedya Ananta Toer, "Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan." Jadi, mari kita mulai dari sini, dari pikiran yang terang dan hati yang peduli, agar tragedi seperti ini tidak lagi menjadi berita utama yang kita baca sambil lalu di pagi hari.

Arfan Taufik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun