Kritik terhadap sistem kesehatan mental di Indonesia sudah sering dilontarkan. Namun, kasus ini menambah catatan hitam bahwa reformasi kesehatan jiwa di negeri ini hanya ada di atas kertas. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa seharusnya menjadi pagar yang melindungi orang-orang seperti Sholeh. Tapi pagar itu tampaknya hanya dibangun di atas pasir.
Sementara itu, media dan netizen dengan cepat menghakimi. Komentar-komentar di media sosial lebih sibuk membahas apakah ini karma, kutukan, atau dosa keluarga. Narasi mistis masih mendominasi cara kita memandang tragedi, seolah logika dan analisis ilmiah hanya pantas untuk mereka yang kuliah di luar negeri. Padahal, kita tahu bahwa kekerasan semacam ini bukan soal klenik, melainkan soal kebijakan yang cacat dan masyarakat yang enggan peduli.
Kini Sholeh menjalani pemeriksaan di RSJ Lawang, Malang. Tapi apakah itu cukup? Apakah kita akan membiarkan kisah ini berakhir di ruang tertutup rumah sakit jiwa, sementara ribuan Sholeh lainnya masih berkeliaran di luar sana tanpa bantuan? Kasus ini harus menjadi alarm. Alarm yang memaksa kita untuk mereformasi sistem kesehatan mental, mengintegrasikan teknologi modern untuk mendeteksi gangguan psikologis sejak dini, dan mengedukasi masyarakat bahwa gangguan jiwa bukan aib melainkan penyakit yang bisa disembuhkan.
Untuk mendukung argumen ini, mari kita lihat data empiris. Menurut WHO, lebih dari 800.000 orang meninggal setiap tahun akibat bunuh diri, dan gangguan mental seperti depresi menjadi penyebab utamanya. Di Indonesia, prevalensi gangguan jiwa berat mencapai 7 per 1.000 penduduk, menurut Riset Kesehatan Dasar 2018. Namun, fasilitas kesehatan jiwa dan tenaga profesional masih sangat minim, dengan hanya 51 RSJ yang terdiri dari 32 RSJ milik pemerintah dan 19 RSJ milik swasta  di seluruh negeri. Ini adalah gambaran nyata dari sistem yang gagal.
Badrun telah menjadi korban. Sholeh telah menjadi algojo. Tapi kita semua adalah saksi. Dan menjadi saksi bukan berarti diam. Ini saatnya untuk marah, untuk menangis, untuk berpikir keras, dan akhirnya untuk bertindak. Seperti yang dikatakan sastrawan Pramoedya Ananta Toer, "Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan." Jadi, mari kita mulai dari sini, dari pikiran yang terang dan hati yang peduli, agar tragedi seperti ini tidak lagi menjadi berita utama yang kita baca sambil lalu di pagi hari.
Arfan Taufik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H