Mohon tunggu...
Arfan Taufik
Arfan Taufik Mohon Tunggu... Lainnya - Analis Permasalahan Hukum

Kriminolog. Pengamat isu HAM, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan keamanan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Indonesia dan BRICS: Lompatan Berani Menuju Babak Baru Dunia Global

11 Januari 2025   10:57 Diperbarui: 13 Januari 2025   11:44 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
BRICS (Sumber: X/@fklivestolearn)

Namun, kritik terhadap solusi Prebisch muncul ketika dihadapkan pada realitas birokrasi yang rumit, korupsi, dan kelemahan infrastruktur di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Implementasi kebijakan industrialisasi sering terhambat oleh kurangnya investasi modal, teknologi, dan tenaga kerja terampil. Selain itu, tekanan eksternal dari organisasi perdagangan internasional dan perjanjian bilateral sering kali mempersulit penerapan proteksi terhadap industri dalam negeri.

Dalam konteks BRICS, yang pola perdagangannya masih didominasi oleh ekspor bahan mentah dan impor produk manufaktur, tantangan ini semakin terasa. Indonesia harus memastikan bahwa kebijakan ekonomi yang diadopsi tidak hanya melayani kepentingan negara-negara besar dalam BRICS, tetapi juga memperkuat kapasitas nasional untuk memproduksi barang bernilai tinggi. Pertanyaannya adalah apakah Indonesia mampu melawan tren ini? Atau kita hanya akan menjadi pion dalam permainan dagang yang sama, mengulangi siklus ketergantungan yang disebut Prebisch sebagai "kutukan sumber daya (resource curse)"? Pilihan kebijakan yang dibuat saat ini akan menentukan apakah Indonesia akan membebaskan diri dari belenggu tersebut atau justru memperdalam keterikatan pada struktur ekonomi global yang eksploitatif.

Dunia yang Bergejolak

Saat Indonesia masuk BRICS, dunia sedang panas dingin. Perang Ukraina-Rusia belum usai, sementara Israel-Palestina makin membara. Amerika dan sekutunya mulai menatap BRICS dengan tatapan sinis, seperti cowok yang baru diputusin pacarnya di depan umum. Bagaimana posisi Indonesia? Apakah kita akan jadi jembatan damai atau sekadar pion dalam catur kekuatan global?

Mengacu pada Teori realisme klasik Morgenthau menekankan bahwa negara selalu bertindak demi kepentingannya sendiri, dengan kekuasaan sebagai tujuan utama. Morgenthau percaya bahwa politik internasional tidak digerakkan oleh moralitas, melainkan oleh kepentingan nasional dan keseimbangan kekuatan. Dalam konteks BRICS, pendekatan ini sangat relevan karena memperlihatkan bagaimana Indonesia dapat memanfaatkan posisinya untuk memperkuat pengaruh geopolitik.

Contoh nyata dari prinsip realisme klasik dalam kebijakan luar negeri Indonesia dapat dilihat pada perannya sebagai mediator konflik global, seperti dalam penyelesaian konflik Laut China Selatan dan dukungan terhadap Palestina di forum internasional. Kebijakan ini menunjukkan keseimbangan antara mempertahankan kepentingan nasional dan membangun citra sebagai pemain yang netral dan konstruktif.

Indonesia juga telah menggunakan diplomasi ekonomi untuk memperkuat hubungan dengan negara-negara BRICS, seperti peningkatan kerja sama perdagangan dengan Cina dan India, serta kemitraan energi dengan Rusia. Ini mencerminkan prinsip realisme Morgenthau, di mana Indonesia berusaha memaksimalkan keuntungan strategis dari hubungan tersebut tanpa mengorbankan kedaulatan nasional.

Sebagai pemain kekuatan menengah di BRICS, Indonesia menghadapi peluang dan tantangan. Peluangnya meliputi penguatan pengaruh diplomatik dan ekonomi, sedangkan tantangannya adalah memastikan tidak terjebak dalam persaingan kekuatan besar yang dapat merugikan kepentingan nasional. Dalam menghadapi tantangan ini, Indonesia perlu mengembangkan kebijakan luar negeri yang fleksibel dan realistis untuk menjaga keseimbangan kekuatan, memperkuat posisi tawar, dan melindungi kepentingan strategisnya di kancah global.

Akhir Kata: Menuju Masa Depan atau Menggali Kuburan?

Dengan segala intrik dan euforia yang menggelora, Indonesia resmi melangkah ke klub BRICS. Namun, ini bukanlah garis akhir, melainkan prolog dari sebuah epos yang penuh tikungan tajam dan jalan bercabang. Kita berdiri di persimpangan takdir, apakah akan melesat sebagai bintang fajar yang menerangi langit global, atau terjebak dalam pusaran narasi kekuasaan yang menggiring kita menuju senja kelam? Bab ini baru dibuka, dan halaman-halamannya menanti untuk diisi dengan perjuangan, harapan, dan (barangkali) keajaiban.

Referensi:

  1. Harvey, D. (2005). A Brief History of Neoliberalism. Oxford University Press.

  2. Frank, A.G. (1966). The Development of Underdevelopment. Monthly Review Press.

  3. Prebisch, R. (1950). The Economic Development of Latin America and its Principal Problems. United Nations.

  4. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Politik Selengkapnya
    Lihat Politik Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun