Indonesia dan BRICS: Lompatan Berani Menuju Babak Baru Dunia Global
Dunia gempar, dan Indonesia melangkah gagah ke panggung internasional. Dengan lambaian tangan dan senyum tipis bak aktor Hollywood dalam gala Oscar, negeri ini menjejakkan kaki di BRICS. Tepuk tangan bergemuruh, tetapi jangan dulu beranjak mencari popcorn, karena kisah ini bukan drama biasa. Ini adalah opera megah yang menggabungkan ilusi dan kenyataan, menjelajah batas-batas ketegangan geopolitik, ekonomi global, dan filosofi HAM yang siap membakar emosi dan merangsang pikiran.
BRICS, seperti geng elite di sekolah internasional, kini menerima anggota baru: Indonesia. Namun, apakah kita sedang meniti tangga kemuliaan atau justru menggelinding ke jurang kehancuran? Mari kita cerna ini seperti seorang filsuf yang kebanyakan ngopi sambil mendekonstruksi dunia.
Latar Belakang BRICS: Rumah Mewah atau Gubuk Reot Berlapis Emas?
Sejak pembentukannya pada tahun 2009, BRICS telah berkembang menjadi sebuah aliansi strategis negara-negara berkembang yang haus akan pengaruh di panggung global. Dengan populasi gabungan yang mencakup hampir separuh dari total penduduk dunia, kelompok ini berambisi untuk menyaingi dominasi kekuatan-kekuatan besar Barat, baik dalam bidang ekonomi, geopolitik, maupun diplomasi. Namun, di balik narasi megah tentang keadilan dan kesetaraan global yang sering mereka dengungkan, BRICS juga tak luput dari kritik. Banyak yang mempertanyakan apakah aliansi ini benar-benar mewakili kepentingan negara-negara berkembang secara adil, atau hanya menjadi arena bagi negara-negara besar seperti Cina dan India untuk memperluas pengaruh mereka di dunia internasional. Dengan modal populasi hampir setengah umat manusia dan kekuatan ekonomi yang bikin IMF deg-degan, mereka mengklaim sebagai penyeimbang dominasi Barat. Tapi tunggu dulu, apa ini benar-benar "keadilan" atau hanya oligarki berbungkus retorika keadilan? Mengutip teori ketergantungan Andre Gunder Frank, kita bisa melihat bahwa BRICS, meski tampil sebagai suara global Selatan, bisa jadi hanya wajah lain dari dominasi yang sama.
Teori ketergantungan Andre Gunder Frank muncul sebagai kritik terhadap modernisasi yang dianggap membawa negara berkembang ke dalam cengkeraman kapitalisme global. Frank menyoroti bagaimana negara-negara pusat (core) mengeksploitasi negara pinggiran (periphery) melalui mekanisme perdagangan, investasi, dan pinjaman. BRICS, dalam konteks ini, dapat dianalisis sebagai struktur semi-periphery, yang mungkin saja mengulangi pola dominasi serupa. Indonesia, sebagai anggota baru, bisa jadi hanya akan berperan sebagai penyuplai sumber daya murah dan pasar bagi negara-negara pusat baru ini, alih-alih menikmati keuntungan setara.
Frank memperingatkan bahwa pembangunan di negara pinggiran sering kali bergantung pada eksploitasi tenaga kerja murah dan ekspor bahan mentah. Dalam BRICS, Cina dan Rusia telah menunjukkan strategi ini dengan menjadi pusat manufaktur dan energi. Apakah Indonesia akan bertransformasi menjadi aktor industri yang kuat atau justru tetap menjadi pemasok bahan mentah dalam struktur ketergantungan global? Pertanyaan ini menjadi kunci untuk memproyeksikan peran Indonesia di masa depan.
HAM dan Kapitalisme: Menari di Ujung Pisau
Indonesia, sang bintang baru, membawa bagasi yang tak ringan. Isu HAM? Oh, jangan ditanya. Dari konflik Papua hingga buruh migran yang dihajar sistem eksploitasi, kita seperti tukang sulap yang jago menyembunyikan luka di balik senyum diplomatik. Bergabung dengan BRICS bisa membuka ruang untuk menyuarakan keadilan sosial, tapi bisa juga jadi ajang legitimasi bagi negara-negara dengan catatan HAM kelam.
David Harvey dalam teorinya tentang Neoliberalisme menyebut bahwa kapitalisme global selalu mencari celah eksploitasi, dan jangan-jangan BRICS adalah dealer baru dalam pasar manusia dan sumber daya. Harvey berpendapat bahwa neoliberalisme melanggengkan ketimpangan dengan menekankan deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi pasar. Dalam konteks BRICS, pendekatan ini bisa memperkuat dominasi korporasi multinasional yang merusak lingkungan dan memperburuk ketidaksetaraan sosial.
Indonesia, dengan masalah perampasan lahan, kriminalisasi aktivis lingkungan, dan ketimpangan sosial yang akut, bisa saja justru memperdalam luka-luka ini. Harvey memperingatkan bahwa neoliberalisme memanfaatkan negara untuk melindungi kepentingan kapital, sementara HAM hanya dijadikan alat dekorasi. Dengan bergabung di BRICS, Indonesia mungkin harus menghadapi dilema antara menari di panggung kapitalisme global atau mempertahankan identitasnya sebagai negara yang peduli HAM.
Ekonomi: Harapan atau Mimpi Basah Kapitalisme?
Dengan BRICS, Indonesia digadang-gadang bakal meroket. Investasi? Yes. Infrastruktur? Oke. Tapi mari berhenti sejenak dan berpikir seperti Keynes di tengah Depresi Besar. Apakah ini murni pertumbuhan atau hanya spiral utang yang semakin dalam?
Teori dependensi Prebisch menyoroti bagaimana negara berkembang cenderung mengalami ketergantungan pada ekspor komoditas dan impor barang manufaktur. Ketergantungan ini menciptakan ketidakseimbangan perdagangan yang memperburuk kesenjangan ekonomi dan memperpanjang siklus kemiskinan struktural. Prebisch menegaskan bahwa negara-negara berkembang harus membangun kapasitas industri mereka sendiri untuk melepaskan diri dari ketergantungan tersebut. Strategi substitusi impor melalui industrialisasi dipandang sebagai solusi untuk menciptakan nilai tambah domestik, memperkuat ketahanan ekonomi, dan mengurangi kerentanan terhadap fluktuasi harga komoditas global.