Pendahuluan
Partai politik telah menjadi bagian utama dari politik di hampir setiap negara, ketika organisasi partai modern berkembang dan menyebar ke seluruh dunia selama beberapa abad terakhir. Partai dapat berkembang dari perpecahan yang ada di masyarakat, seperti perpecahan antara kelas bawah dan atas, dan mereka merampingkan proses pengambilan keputusan politik dengan mendorong anggotanya untuk bekerja sama. Partai politik biasanya mencakup seorang pemimpin partai, yang memiliki tanggung jawab utama atas kegiatan partai; eksekutif partai, yang dapat memilih pemimpin dan yang melakukan tugas administratif dan organisasi; dan anggota partai, yang mungkin secara sukarela membantu partai, menyumbangkan uang untuk itu, dan memilih kandidatnya. Ada banyak cara berbeda di mana partai politik dapat terstruktur dan berinteraksi dengan pemilih. Kontribusi yang diberikan warga negara kepada partai politik seringkali diatur oleh undang-undang, dan partai terkadang mengatur dengan cara yang menguntungkan orang-orang yang menyumbangkan waktu dan uang kepada mereka (Pasaribu, 2017). Salah satu cara utama bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam partai politik adalah menjadi anggota. Cara menjadi anggota dalam partai politik salah satunya, yaitu melalui kaderisasi.
Kaderisasi merupakan perpaduan antara konsep keanggotaan dan organisasi dalam partai politik yang didasari oleh kebutuhan akan adanya sistem pengelolaan dan rekrutmen yang baik dalam partai politik untuk menjamin bahwa relevansi partai politik melalui perekrutan anggota berjalan dengan baik dan dapat menjadi refleksi dari masyarakat sebagai bagian dari fungsi partai politik itu sendiri.Â
Realitas politik tersebut menunjukkan fakta yang berlainan dalam praktisnya, karena dalam dinamika internal sebuah partai politik saat ini terdapat banyak kepengurusan partai politik yang cenderung ingin status quo dipertahankan. Misalnya, ada kondisi stagnan di mana ruang perubahan dan kaderisasi tidak mendapat perhatian yang memadai dalam proses suksesi kepemimpinan partai politik (Pasaribu, 2017). Artinya, struktur kekuasaan lama memiliki cengkraman kuat sehingga dengan mudah mempertahankan dominasi dalam struktur komando kepemimpinan partai politik.
Beberapa faktor menyebabkan status quo tidak dapat ditawar-tawar. Pertama, besarnya dominasi patron-klien di partai politik. Memang tidak ada yang salah dengan fenomena patron-client. Sebab, dalam institusi partai tradisional hingga modern, patron-klien selalu menjadi realitas politik yang selalu memiliki ruang yang sangat terbuka untuk tumbuh dan berkembang. Berbagai tinjauan klasik menunjukkan bahwa pembentukan pola hubungan patron-klien disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari sejarah kepemimpinan, distribusi sumber daya dan logistik, otoritas dan kharisma pemimpin, keturunan, hingga kapasitas pengetahuan agama yang tinggi dan legitimasi. Adat-istiadat setempat yang kesemuanya merupakan dasar untuk menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin. Hal ini kemudian akan menimbulkan masalah yang lebih besar bagi sistem rekrutmen anggota partai politik dan bagaimana mereka dapat mengatur organisasi mereka sendiri. Hal ini terjadi karena bertahannya status quo dalam suksesi kepemimpinan partai politik juga dipengaruhi oleh motif internal partai yang berpotensi menimbulkan gesekan dan faksionalisme antar kekuatan dalam struktur kekuasaan internal partai politik (Harahap, 2017). Â
Artinya, status quo yang didominasi pola hubungan patron-klien sengaja dimanfaatkan untuk menjaga stabilitas dan soliditas internal partai politik. Jika ini tidak dikelola, konflik dan perpecahan berpotensi terjadi dan menurunkan mesin politik mereka. Dalam jangka panjang, permasalahan dalam kaderisasi yang notabene berkaitan erat keanggotaan dan organisasi partai politik akan dapat mempengaruhi regulasi terkait keanggotaan dan organisasi partai politik dalam sistem kepartaian suatu negara dimana norma sosial dan tradisi politik yang terlalu berat terhadap sistem yang tidak sesuai dengan kaidah demokrasi akan menghambat proses adaptasi regulasi di tingkat daerah maupun nasional dalam sistem kepartaian negara demokratis.
Pembahasan
Di Indonesia, keanggotaan dan organisasi dalam sebuah partai politik tentu memiliki hubungan yang erat dengan fungsi partai politik sebagai rekrutmen politik. Hal tersebut menurut Imansyah (2012) ditunjukan dalam bagaimana anggota-anggota dalam banyak partai politik di Indonesia yang memainkan peran tradisional dalam struktur partai politik sebagai partisipan aktif dalam kegiatan seperti: Memobilisasi warga untuk dukungan partai; Terlibat dengan dan mendidik warga tentang kebijakan; Merekrut dan memilih pimpinan partai politik; Pencalonan calon partai untuk pemilihan umum; Merumuskan pandangan kebijakan publik; Dididik untuk kepemimpinan masa depan (keberlanjutan partai); Mewakili warga negara ketika dicalonkan dan dipilih menjadi anggota legislatif dan eksekutif pemerintahan; Membayar iuran keanggotaan kepada pengurus partai. Karena peran anggota partai politik di Indonesia dalam organisasi partai mereka tersebut, maka dapat dikatakan bahwa keanggotaan dan organisasi partai politik di Indonesia berkaitan erat dengan fungsi partai politik sebagai sarana rekrutmen politik.
Warga negara dalam negara yang menggunakan sistem demokrasi akan dapat membuat diri mereka berafiliasi dengan partai politik tertentu melalui sistem keanggotaan partai politik. Keanggotaan partai politik dapat mencakup pembayaran iuran, perjanjian untuk tidak berafiliasi dengan banyak pihak pada saat yang bersamaan, dan terkadang pernyataan persetujuan dengan kebijakan dan platform pihak tersebut. Di negara-negara demokrasi, anggota partai politik seringkali diizinkan untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum untuk memilih kepemimpinan partai (Pasaribu, 2017). Anggota partai dapat menjadi basis para aktivis relawan dan donatur yang mendukung partai politik selama kampanye. Tingkat partisipasi dalam organisasi partai dapat dipengaruhi oleh institusi politik suatu negara, dengan sistem pemilihan tertentu dan sistem partai mendorong keanggotaan partai yang lebih tinggi. Setidaknya sejak tahun 1980-an, keanggotaan dalam organisasi partai tradisional yang besar telah terus menurun di sejumlah negara, terutama dalam demokrasi modern sistem demokrasi perwakilan yang digunakan banyak negara di dunia saat ini.
Tidak akan ada partai politik yang sukses tanpa adanya sistem keanggotaan yang baik karena anggota adalah urat nadi atau salah satu hal paling penting bagi pertumbuhan dan perkembangan sebuah partai politik dalam sistem demokrasi (Pasaribu, 2017). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menempatkan anggota pada inti dari sebuah partai politik di Indonesia sehingga memungkinkan mereka memainkan peran sebagai sarana rekrutmen politik dalam masyarakat politik Indonesia. Oleh karena itu, secara konsep partai politik tidak hanya harus memiliki keanggotaan yang cukup besar dan beragam, tetapi juga harus mengenal dan melibatkan mereka dalam urusan kepartaian. Bagaimana tepatnya anggota akan dilibatkan, Undang-undang Nomor 2 tahun 2008 diatas juga menyerahkan kepada masing-masing partai politik untuk memutuskan sistem keanggotaan dalam partai politik merekaa sendiri larena partai politik adalah badan hukum dengan hak dan kewajibannya sendiri. Hal ini merupakan bagian dari konsep keanggotaan dalam partai politik bahwa partai politik sebagai sebuah organisasi  memiliki kebebasan untuk memutuskan siapa dan kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadi anggota. Dan sebagai persyaratan UU, partai politik harus menetapkan, dalam konstitusinya, kelayakan untuk menjadi anggota.
Partai politik menyatukan orang-orang dengan ide politik yang sama. Dengan ikut serta dalam pemilu, partai berharap bisa mendapatkan sebanyak mungkin anggotanya ke dalam badan perwakilan, seperti parlemen atau dewan kota. Pada saat yang sama mereka mencoba untuk menduduki sebanyak mungkin jabatan di pemerintahan, atau di eksekutif kota atau provinsi. Partai politik memiliki berbagai fungsi. Salah satunya adalah mengedepankan kepentingan pemilihnya. Mereka juga menyusun program partai yang memungkinkan warga negara dapat bergabung dengan partai politik, memungkinkan mereka untuk membantu membentuk program partai. Hal ini merupakan bagian dari fungsi partai politik, khususnya di Indonesia sebagai fasilitator rekrutmen politik guna mendorong partisipasi politik warga negara yang lebih demokratis melalui program keanggotaan di sebuah partai politik itu sendiri (Kaputeni, 2021). Relevansi utama dari fungsi partai politik sebagai sarana rekrutmen politik dapat dilihat dari bagaimana kepengurusan partai politik itu sendiri dalam membenahi permasalahan organisasi keanggotaan bagi partai politik tersebut.
Pasal 11 dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, tepatnya Ayat (1) Poin (e) menyebutkan bahwa Partai Politik berfungsi sebagai sarana rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Hal ini kemudian dipertegas oleh Ayat (2) dari Pasal 11 dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik tersebut yang menyatakan bahwa fungsi partai yang dimaksud pada ayat (1) diwujudkan secara konstitusional. Hal ini berarti bahwa regulasi sistem keanggotaan dan organisasi politik di Indonesia dapat dan seharusnya didasari oleh fungsi rekrutmen politik itu sendiri. Namun, menurut Ahmad (2020), pelaksanaan rekrut politik di Indonesia seringkali mengungkap fenomena yang dianggap curang, seperti istilah kader loncatan, kader karbitan, atau kader titipan. Ahmad (2020) dalam penelitiannya memberikan gambaran nyata terkait regulasi keanggotaan dan organisasi partai politik di Indonesia yang marak diisi oleh nepotisme yang notabene bertentangan dengan prinsip demokrasi dan fungsi rekrutmen politik dari partai politik. Nepotisme adalah bentuk favoritisme yang diberikan kepada kerabat dan teman di berbagai bidang, termasuk politik dan terutama di partai politik. Nepotisme adalah tuduhan umum dalam politik ketika kerabat seorang tokoh berkuasa naik ke kekuasaan yang sama tampaknya tanpa kualifikasi yang sesuai dengan banyak kasus nepotisme dapat ditemukan pada perekrutan dan organisasi bagian dari partai politik untuk menempatkan orang-orang tertentu pada posisi kekuasaan. dalam kepengurusan partai itu sendiri. Nepotisme akan tumbuh sebagai tradisi jika dinormalisasi dalam organisasi partai politik, terutama ketika seseorang dipekerjakan karena ikatan keluarga tanpa memperhatikan kredibilitas mereka dan akuntabilitas anggota lain secara keseluruhan.