Biasanya, ruang publik digunakan untuk tempat-tempat pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka. Ruang ini memungkinkan terjadinya saling interaksi antarwarga, seperti membuat kegiatan bersama, sehingga diistilahkan dengan ruang umum yang netral.
Karena ruang publik merupakan milik bersama dan berkaitan dengan kenyamanan seluruh warga, maka eksitensi ruang publik berada di pundak seluruh elemen masyarakat. Atau dengan kata lain, pemerintah kota dan seluruh warga bersama-sama memelihara dan menjaga ruang publik dari tangan-tangan jahil, seperti pemilik modal, pemilik kekuasaan, dan oknum yang kerap “menjahili” ruang publik.
Seperti di tengah euporia pilkada sekarang ini. Para politikus yang berambisi menjadi kepala daerah tak segan-segan memprivatisasi ruang publik menjadi milik merek dagang, parpol dan peserta Pilkada 2015. Iklan luar ruang berwujud billboard, baliho, rontek, umbul-umbul, spanduk, dan poster mulai memadati ruang publik untuk menyuarakan kehendak hati sang calon kepala daerah.
Warga sebenarnya muak dengan kondisi tersebut. Tapi, mau bagaimana? Akses warga untuk berkomunikasi kepada pemerintah kota mengalami hambatan. Pemerintah seolah menutup mata dan telinga atas berbagai persoalan publik yang berkaitan dengan kenyamanan kota.
Di sinilah jejaring sosial mengambil tempat strategis sebagai kontrol dari masyarakat kepada para pembuat “sampah visual”. Warga kota dapat memanfaatkan media sosial, seperti tweeter, facebook, instagram, dan lain sebagainya untuk melakukan perlawanan dari hegemonoi pemilik kuasa dan modal. Dan, pemerintah yang baik tentu akan membuka saluran komunikasi dengan warganya, mendengarkan keluhan, menampung aspirasi, dan menginformasikan kebijakannya melalui jejaring sosial yang tumbuh subur bak cendawan musim hujan di tengah publik.
We Are Social, sebuah agen marketing sosial yang mengeluarkan laporan tahun 2015 menyebutkan bahwa terdapat 72,7 juta pengguna internet aktif di Indonesia, di mana hampir 100% penggunanya memiliki akun media social. Indonesia adalah pengguna facebook ketiga terbesar setelah Amerika Serikat dan India. Sedangkan pengguna twitter, berada di posisi ketiga setelah Amerika Serikat dan Jepang.
Fakta ini seharusnya memudahkan pemerintah kota dalam berinteraksi dengan warganya. Pemerintah kota hanya tinggal memaksimalkan fitur-fitur yang ada di media sosial untuk menyosialisasikan program-program yang hendak digulirkan kepada warga.
Dengan memanfaatkan twitter misalnya, pemerintah dapat membuat berbagai solusi ruang terbuka publik yang langsung menjembatani keluhan warga dengan pemerintah. Misalnya, berkaitan dengan sampah yang mulai menggunung di berbagai titik kota. Pemerintah dapat membuat hastag #sampah kota, yang tampilannya berupa header photo twitter yang bergambar sampah. Warga tinggal mengetikkan saja di jalan mana sampah bertumpuk, sehingga pemerintah melalui Dinas Kebersihan bisa langsung meluncur ke lokasi sampah tersebut.
Begitu juga dengan persoalan ruang terbuka lainnya, bisa dibuat hastag lain, seperti #coretan dinding, #macetkota, #jalan berlubang, #prostitusiterselubung, #kotatakramah anak ,#jalankota, #pedestariankota, #jalankota, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan kenyamanan ruang publik.
Dengan pemanfaatan jejaring sosial, pemerintah dapat memonitor berbagai permasalahan yang ada di kota. Warga pun bisa berkeluh kesah terhadap berbagai hal yang mengusik ruang publik kotanya, seperti tebaran sampah visual melalui #sampahvisualkota dan permasalahan lain seperti jalan berlobang, sampah, hutan beton, dan sejenisnya.