Mohon tunggu...
Arfa Gandhi
Arfa Gandhi Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalistik
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

https://www.kompasiana.com/arfa18 Berkarya itu bahagia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Papua Surga Kecil Dunia dan Toleransi Tinggi Masyarakat Suku Dani

25 Juli 2024   11:08 Diperbarui: 25 Juli 2024   11:11 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama masyarakat Papua / Foto: Istimewa 

Setujukah kalian jika Papua bagaikan surga kecil yang jatuh ke bumi ?

Tentu jawabannya pasti setuju jika kalian pernah healing ke tanah Papua, menyambangi beberapa lokasi destinasi wisata alam yang memiliki keindahan tak tertandingi.

Akan tetapi jawaban "tak setuju" jika Papua dijuluki surga dunia tentu akan tetap datang dari pandangan banyak orang, terutama dari mereka yang belum pernah menginjakan kakinya di tanah Bumi Cenderawasih.

Saya sendiri pun setujuin mengakui keindahan alam di tanah Papua yang dibalut dengan nilai budaya khas Indonesia Timur, memberikan sebuah pengalaman yang tak pernah terlupakan.

Dan kata setuju jika Papua bagaikan surga kecil di dunia yang memiliki beragam keindahan wisata alam, saya utarakan dari pengalaman menetap selama 1 bulan di suku Dani yang berada di wilayah Lembah Baliem, Pegunungan Tengah.

Namun tak hanya suguhan pesona alam yang eksotis saya dapatkan selama berada disana, sejuta pengalaman yang saya dapatkan menjadi sebuah pelajaran berharga dalam menjalankan nilai-nilai toleransi antar umat beragama.

Tepatnya pada tahun 2016 silam, saya terbang dari Jakarta ke Papua dalam rangka perjalanan dinas yang saat itu ditugaskan oleh kantor tempat saya bekerja.

Perjalanan dari Jakarta menuju Jayapura memakan waktu sekitar 5 jam 20 menit. Sampainya di Bandara Sentani, saya harus melanjutkan perjalanan via udara menggunakan maskapai yang melayani penerbangan ke Bandara Wamena di Lembah Baliem, yang memakan waktu sekitar 55 menit.

Sampainya disana, saya berserta tim yang berjumlah 4 orang mendapatkan sambutan yang luar biasa dari kepala suku adat dan masyarakat setempat, yang sebelumnya sudah lebih dulu mendapatkan kabar dari rekan kerja di Papua soal kedatangan kami kesana.

Tradisi adat bakar batu yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menyambut kedatangan tamu juga berjalan dengan khidmat.

Setelah itu, masyarakat setempat melakukan perjamuan kepada kami dengan memberikan umbi-umbian, pisang, keladi, labu dan buah merah yang dimasak secara tradisional dengan cara bakar batu serta menyajikan beberapa tarian khas daerah.

Sambil menikmati hidangan cemilan yang sudah disediakan, kepala suku Dani juga tak lupa mengingatkan kami soal aturan-aturan adat yang biasa diterapkan oleh warga setempat. Setelah itu kegiatan dilanjutkan dengan acara makan besar bersama.

Saat itu saya hanya berfikir untuk kembali makan umbi-umbian dan pisang. Sebab, lauk yang disediakan adalah babi bakar batu. Dan dalam perjalan dinas kali ini hanya saya sendiri yang beragama muslim.

Namun bukan berarti tidak ada umat muslim di Lembah Baliem. Masyarakat suku Dani Papua yang beragama muslim berada di Distrik Walesi. Disana juga terdapat sebuah masjid dan pesantren yang berdekatan dengan gereja.

Hidup berdampingan mengedepankan nilai toleransi antar umat beragama menjadi sebuah kewajiban bagi masyarakat suku Dani Papua.

Bahkan tingginya nilai toleransi masyarakat suku Dani membuat saya tidak jadi kelaparan. Sebab saat tau saya beragama muslim, beberapa pemuda disana langsung bergerak cepat ada yang menuju pasar untuk membeli ayam dan ada juga yang menuju hutan untuk berburu rusa.

"Kaka muslim toh, tunggu sebentar KK, kita mau cari rusa," kata seorang warga kepada saya.

Tak butuh waktu lama, rusa hasil buruan dengan ukuran yang tak terlalu besar pun akhirnya datang. Begitu juga dengan ayam yang dibeli di pasar.

Dan yang membuat saya sedikit terharu, tempat untuk memasak daging rusa dan ayam dengan cara bakar batu juga dipisahkan dari tempat yang biasa digunakan untuk masak babi oleh para mama - mama yang sedari tadi sibuk di dapur.

Satu pelajaran yang saya dapat saat itu adalah cara mereka menghormati dan melayani seorang minoritas seperti seorang raja yang harus dan wajib dipenuhi segala kebutuhannya dan bukan hanya soal makan saja.

Pisau dan wadah untuk memotong rusa pun beli baru, tidak memakai barang-barang yang sebelumnya digunakan untuk mengeksekusi babi.

Masyarakat setempat juga menyediakan tempat untuk saya melaksanakan ibadah wajib 5 waktu. Bahkan, mereka juga siap dan selalu mengantarkan saya saat menunaikan ibadah sholat Jumat.

Sikap dan sifat toleransi yang sudah melekat dalam hati, bukan di dapatkan dari pendidikan bangku sekolah. Melainkan mematuhi hukum dan ajaran adat istiadat.

Menjaga Kentalnya Budaya dan Adat-istiadat

Papua dikenal sebagai provinsi yang masih kental dengan budaya adat istiadatnya. Bahkan, mereka lebih mengedepankan ajaran dan aturan adat dibandingkan dengan aturan masyarakat pada umumnya.

Kurangnya support pendidikan tak menjadi sebuah kendala besar bagi masyarakat setempat. Padahal yang kita tahu pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk masa depan generasi berikutnya.

Selain itu, cara bertahan hidup yang dilakukan oleh masyarakat setempat juga menjadi suatu hal yang sangat jauh berbeda dari masyarakat yang tinggal di kota pada umumnya.

Tidak selalu bahan pokok yang mereka butuhkan bakal ready di pasar. Oleh karena itu, mereka harus selalu siap untuk berburu dan berternak babi agar jauh dari kata lapar..

Tak hanya itu saja, mental dan fisik anak-anak disana juga sudah terbentuk dengan sendirinya sejak masih kecil, lewat berbagai proses kerasnya cobaan dalam bertahan hidup.

Suku Dani juga merupakan salah satu suku paling populer dan terbesar di Papua yang masih memilih tinggal di rumah adat yang diberi nama Honai dan ada juga yang tinggal di sebuah rumah pohon.

Suku Dani juga masih menjalani tradisi memotong jari tangan atau daun telinga jika ada salah satu keluarganya yang meninggal karena terbunuh atau kecelakaan.

Hal itu dilakukan sebagai simbol kesedihan dari tradisi adat masyarakat suku Dani bahwa keluarga adalah sesuatu yang tidak dapat digantikan.

Selama disana saya banyak mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Salahsatunya Sifat dan sikap yang lebih menghargai dalam hal apapun.

Kedua Jangan mengeluh. Selama disana saya tidak pernah melihat adanya sebuah keluhan yang keluar dari seluruh masyarakat Suku Dani. Yang saya lihat, mereka selalu semangat meski harus menjalani kerasnya kehidupan.

Ketiga jangan malas, masyarakat suku Dani Papua harus lebih dulu berburu agar bisa makan. Sementara masih banyak pemuda-pemudi di kota-kota besar yang menjalani hidupnya dengan bermalas-malasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun