Mohon tunggu...
Akhdian Rep
Akhdian Rep Mohon Tunggu... -

Simply Citizen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

KREASI: Salam Indonesia dari Perth

2 September 2015   04:33 Diperbarui: 2 September 2015   04:40 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Salam Indonesia dari Perth"][/caption]

“Saya sangat terharu karena saya diterima sedemikan rupa oleh Bung Hatta, Soebardjo, Nazir Pamuntjak, Iwa Koesoemasoemantri-para pemimpin PI. Mulai dari itu, saya tidak lagi dansi-dansi dan minuman keras di hotel-hotel, saya bekerja saja untuk Indonesia, Perhimpunan Indonesia telah memberikan kepada saya Kebangsaan Indonesia! Sejak tahun 1923, Bung Hatta menjadi sahabat saya yang setia sampai dia meninggal dunia.” *)

Kutipan itu merupakan pengakuan Arnold Mononutu, mantan menteri penerangan pada era kabinet RIS, saat diajak oleh Alex Maramis menghadiri penggantian nama organisasi Perhimpunan Indonesia di Den Haag yang sebelumnya berbahasa Belanda. Mononutu yang pada suatu masa merasa bukan Indonesia dan bukan Belanda, tapi Minahasa, tiba-tiba merasa sangat Indonesia. Semangat kebangsaan khas zaman pergerakan, tumbuh dengan sangat bergelora tanpa memandang latar belakang.

Gelora yang sama bisa dirasakan saat melompat ke tempat dan waktu yang berbeda saat warga Indonesia menggelar pesta budaya dan kuliner di Perth, Western Australia, tanggal 30 Agustus 2015. KREASI (Kuliner, Etnik dan Seni Indonesia), kegiatan yang digelar sebagai rangkaian peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-70.

Ada rasa bangga yang membuncah saat melihat merah putih diarak & dikibarkan di Curtin Stadium. Sebuah prosesi dihadapan pengunjung yang memenuhi area pagelaran, banyak diantaranya yang bukan merupakan warga Indonesia. Pagelaran ini memang menampilkan wajah Indonesia sebagai sebuah bangsa yang tumbuh dari kebhinnekaan. Berbagai macam gerak, musik dan tari dari hampir seluruh wilayah Indonesia tampil satu persatu di atas panggung.

Budaya Indonesia memang kaya, hampir sepanjang pementasan tepuk riuh selalu berkumandang. Bahkan kekayaan ini menjadi daya tarik bagi pihak lain untuk mencoba terlibat langsung dalam pementasan sebagai bentuk kecintaan terhadap budaya Indonesia. Warga setempat berkolaborasi dengan komunitas Indonesia tampil memperagakan kemahiran memainkan gamelan, alat musik tradisional yang lazim dimainkan oleh masyarakat di Pulau Jawa.

Sementara di luar gedung, antrian panjang mengular memenuhi tenda-tenda kecil tempat makanan khas Indonesia dijajakan. Tenda-tenda kecil ini menjadi semacam etalase yang menampilkan kekayaan ragam kuliner nusantara. Pengujung yang tumpah ruah bergerak berpindah dari satu tenda ke tenda lainnya melepas rasa penasaran mencicipi atau sekadar melepas rindu akan cita rasa yang sudah lama tidak dijumpai.

Begitulah, Indonesia yang masih merupakan konsep pada masa Mononutu bertemu dengan Bung Hatta, telah menjelma menjadi sebuah entitas yang mempersatukan gugusan pulau-pulau yang ada di Nusantara. Sebuah entitas kebangsaan yang dilatari keanekaragaman dan kemajemukan, dan sejarah telah mengantar Indonesia sampai usia yang ke-70.

Salam Indonesia dari Perth.

[caption caption="Menonton pagelaran"]

[/caption]

[caption caption="I Love Indonesia"]

[/caption]

[caption caption="Menikmati pagelaran"]

[/caption]

[caption caption="Tarian daerah "]

[/caption]

[caption caption="Tarian daerah"]

[/caption]

[caption caption="Tarian daerah"]

[/caption]

[caption caption="Tarian daerah"]

[/caption]

[caption caption="Tari daerah"]

[/caption]

[caption caption="Gamelan"]

[/caption]

[caption caption="Stall kuliner"]

[/caption]

[caption caption="Antrian di stall kuliner"]

[/caption]

[caption caption="Wajah bahagia pemilik stall"]

[/caption]

[caption caption="Sate, salah satu menu yang laris"]

[/caption]

*)Dikutip dari Buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, Karya Ahmad Syafii Maarif   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun