Setelah istirahat selama lebih kurang dua puluh dua tahun menjadi Sinterklas, tahun ini saya kembali lagi menjadi Sinterklas. Tujuannya hanya satu: menghibur anak-anak Minggu Gembira dalam merayakan hari Natal.
Usia yang tak muda lagi dan jubah kebesaran Sinterklas yang kedodoran membuat saya harus tampil di panggung dengan duduk saja. Serta foto bergantian dengan anak-anak usia TK dan SD sambil memberikan hadiah dari orangtua mereka masing-masing.
Walau hanya duduk, bersalaman, dan membagi hadiah dengan memakan waktu tak lebih dari tiga jam ternyata melelahkan juga. Terpenting anak-anak terhibur. Termasuk juga para lansia yang dirayakan secara khusus oleh gereja Katolik pada Hari Keluarga Kudus setiap 29 Desember.
Terlepas dari cerita Sinterklas sebenarnya, saya menjadi Sinterklas sejak 1992 dengan tujuan menghibur anak-anak usia TK dan SD pada perayaan Natal di gereja dan sekolah secara gratis.
Pada dasawarsa 80-90an, penampilan Sinterklas bukanlah hiburan gratis. Setiap anak yang mau foto dengan Sinterklas harus membayar antara 5-10 ribu rupiah. Atau harus membeli hadiah tertentu dengan harga yang dipatok oleh supermarket yang mengadakan acara foto bersama Sinterklas tersebut. Cukup mahal bagi mereka dengan ekonomi pas-pasan.
Gema Sinterklas pada masa Natal saat ini tidak seramai dulu. Kini Sinterklas hanya berupa gambar atau pahatan dari styrofoam yang dipasang di pusat perbelanjaan, pertokoan, hotel, dan tempat wisata untuk menarik konsumen.
Kembali ke Betlehem. Kembali hidup bersahaja penuh kegembiraan dalam menyambut kelahiran Sang Mesias.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H