Tulisan ini berdasarkan pengalaman penulis beberapa kali menjadi saksi sakramen perkawinan, memimpin upacara midodareni, lamaran, memilih hari perkawinan, serta panitia pesta perkawinan di desa.
Terutama di Ranu Pani desa paling barat Lumajang di lereng Semeru, Ngadas desa paling timur Kabupaten Malang, Wedi di Klaten, Baturetno Wonogiri, Karang Jati Gombong, Curah Jati Banyuwangi, dan Cemorokandang desa paling timur kota Malang.
Pada dasarnya ritual mulai menanyakan sudah ada yang memiliki, lamaran dan memilih hari perkawinan, serta Midodareni berdasarkan tradisi di tempat tersebut tidak jauh berbeda.
Hanya saja untuk menu makanan yang disajikan ada perbedaan, misalnya di wilayah Banyuwangi bagian selatan menu yang disajikan sesuai kesepakatan tidak tertulis lebih sering menyajikan rawon. Untuk kue yang disajikan tidak lebih dari tiga macam kue tradisional.
Demikian juga di wilayah Baturetno, Wonogiri dan Gombong, Kebumen hampir mirip bukan rawon tapi soto.
Di Malang, Surabaya, dan Lumajang terutama wilayah perkotaan lebih bebas dalam arti sesuai keinginan tuan rumah. Biasanya banyak menu yang disajikan mulai masakan tradisional Jawa, Chinese Food sederhana, bahkan masakan Eropa.
Hal yang cukup unik justru di pelosok sekitar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru lebih banyak menyajikan menu Chinese Food. Alasannya masakan tradisional Jawa sudah bosan.
Apalagi yang mengadakan keluarga aparat desa atau petani dan pedagang sukses.