Jam masih menunjukkan angka sepuluh malam lebih sedikit saat rasa kantuk muncul. Belum terlalu malam untuk tidur. Namun seharian menemani orang terkasih berbaring di tempat tidur persiapan pasang ring jantung sungguh melelahkan.
Ketika gerimis mulai redah, aku keluar dari kamar di lantai paling atas tanpa menggunakan lift untuk sekedar jalan-jalan menghilangkan kejenuhan.
Saat di depan tangga turun paling bawah kulihat seorang lelaki tua duduk bersila di sebuah tikar. Wajahnya agak pucat dengan tatapan sedikit kosong. Di sampingnya seorang lelaki muda tidur pulas dengan sedikit dengkuran.
"Boleh duduk di sini, Pak?" Tanyaku basa-basi untuk menemani karena hampir seluruh selasar telah dipenuhi keluarga pasien yang terpaksa tidur di tempat itu.
Ia hanya menjawab dengan senyuman sambil mengulurkan tangan kanannya saat aku ingin bersalaman.Â
Telapak tangannya begitu dingin.
Sepuluh menit aku duduk di sampingnya dalam diam.
"Ini anakku satu-satunya...," katanya mengawali pembicaraan. Diusapnya dahi lelaki muda yang tidur pulas itu.
Setitik airmata tampak keluar dari matanya.Â
"Ia belum berani berkeluarga karena harus merawatku." Katanya sendu.