Hidup sederhana dalam budaya Jawa disebut sebagai urip sakmadya itu gampang-gampang susah.
Gampang dikatakan susah dilaksanakan. Maunya sih secara pribadi hidup sederhana tapi ternyata kehidupan bermasyarakat justru menuntut sebaliknya.
Sesuatu yang tampaknya sederhana ternyata mahal atau memerlukan banyak beaya.
Sebagai contoh dalam masyarakat desa dalam pesta perkawinan, paling tidak akan mengundang tetangga satu pedukuhan dan beberapa warga satu desa terutama aparat desa. Ditambah lagi teman bertani, berdagang, atau bekerja.
Maka jumlah undangan pun tidak kurang antara 150-200 orang belum termasuk tenaga biadan dan sinoman.
Bahkan jika yang mengadakan pesta perkawinan merupakan tokoh atau aparat desa.
Belum lagi bila menjelang pesta perkawinan ada ritual adeg terob atau mendirikan tenda, midodareni, dan saat pesta ada pertunjukan seni, misalnya: campursari dan tayub, pencak silat, wayang kulit, atau paling tidak dangdutan.
Pesta perkawinan di desa yang disebut sederhana bisa menelan beaya sekitar tiga puluh lima juta rupiah.
Darimana beaya ini?
Dalam tradisi masyarakat desa ada istilah titipan dan buwuhan.
Titipan biasa berupa barang, misalnya: beras, gula, minyak goreng, telor, bahkan ayam dan kambing yang dititipkan oleh seseorang pada keluarga yang punya hajat. Barang ini nanti harus dikembalikan pada saat yang menitipkan punya hajat.
Buwuhan lebih berarti sumbangan dalam bentuk uang. Ada masyarakat desa yang mempunyai tradisi kesepakatan batas minimal memberi buwuhan.
Misalnya dua ratus ribu rupiah per KK. Artinya jika suami istri datang tidak bersamaan maka masing-masing memberi seratus ribu rupiah.
Buwuhan ini diberikan pada seorang sinoman dan biadan untuk dicatat nama pemberi dan jumlahnya.
Tradisi semacam ini mengajar masyarakat desa untuk menabung uang setiap selesai panen, keuntungan berdagang, atau pun honor sebagai buruh.
Uang ini ditabung dengan cara sederhana, misalnya dimasukkan kaleng bekas tempat kue lalu ditaruh di atas lemari atau di bawah tempat tidur.
Pada masa lalu lebih kolot lagi cara penyimpanannya, yakni di bawah bantal, tikar, kasur, atau disimpan dalam bumbung atau sepotong ruas bambu kering.
Pada saat akan mengadakan pesta perkawinan atau sunatan maka sebagian tabungan ini diambil untuk beaya.
Demikian juga akan diambil bila ada tetangga dan kenalan yang akan mengadakan pesta perkawinan atau sunatan.
Jadi untuk beaya pesta perkawinan tidak menggunakan uang konsumsi sehari-hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H