Di sinilah awal peristiwa memprihatinkan terjadi. Selama perjalanan menuju pemakaman tidak ada seorang pelayat pun yang menggantikan para penggotong keranda.
Jarak menuju pemakaman memang hanya sekitar satu kilometer saja. Tetapi menggotong keranda kayu dengan pikulan terbuat dari bambu utuh sungguh berat dan menyiksa bahu.
Begitu sampai di dekat liang makam peristiwa tragis pun terjadi. Empat anggota keluarga yang terpaksa menjadi penggotong tampaknya kelelahan. Maka ketika akan menurunkan keranda  tangan sudah kelelahan sehingga tidak bisa bersama-sama. Keranda oleng. Tutup keranda jatuh diiringi meluncurnya jenazah ke dalam liang. Saat terjadi semua pelayat hanya terdiam. Dunia seperti berhenti dalam sedetik.
Saat pemakaman, warga desa masih membantu dengan menguruk makam hingga selesai. Keluarga berduka, terutama yang pria dibiarkan istirahat.
Peristiwa memilukan kembali terjadi. Selesai ritual pemakaman, para pelayat langsung pulang meninggalkan keranda dan perlengkapan penggalian kubur.
Dari jauh sebagian para pelayat dan penggali kubur yang sedang istirahat dan minum di sebuah warung melihat empat anggota keluarga yang berduka menggotong keranda berisi perlengkapan penggalian.
Sepanjang perjalanan menuju tempat penyimpanan keranda sedikit bergoyang karena tinggi badan penggotong tidak sama. Selain itu keranda berbunyi tek.. tek.. tek.. tek.. yang berasal dari suara cangkul yang bergoyang di dalam keranda.
Sejak peristiwa itu beredar isu keranda bergoyang dengan bunyi tek.. tek.. tek...
Karena keranda tersebut ditempatkan di pinggir sungai yang digunakan masyarakat desa untuk mandi dan cuci maka banyak warga yang takut.
Aparat desa pun memutuskan memindah tempat penyimpanan keranda ke pinggir kuburan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI