Beras jagung atau nasi jagung hingga tahun 60an masih menjadi salah satu makanan pokok masyarakat kita. Orang desa khususnya masyarakat Jawa menyebut jagung sebagai gandum.Â
Pada saat itu beras masih cukup mahal karena daya beli masyarakat masih rendah.
Bertambahnya pendapatan masyarakat karena kemajuan ekonomi beras menggeser jagung dan ketela pohon sebagai makanan pokok. Jagung hanya menjadi penganan atau jajanan tradisional, seperti grontol, bledhus, dan jagung rebus.
Beberapa tahun terakhir, terutama di perdesaan wilayah Jawa Timur khususnya Malang, nasi jagung kembali menjadi populer. Kafe-kafe di pinggiran perdesaan tak mau kalah dengan warung-warung sederhana di pinggir sawah dan kali menyediakan menu nasi jagung.
Harganya bervariasi antara 6 - 7,5 ribu rupiah per piring. Tergantung lauk dan sayur yang disajikan.
Harga di kafe tentu lebih mahal 2-3 ribu rupiah.
Menu sederhana nasi jagung biasanya dengan sayur lodeh, urap-urap, lodeh, atau sayuran saja  dengan sambel.Â
Lauknya yang lumrah berupa tempe, mendol, ikan asin, bakwan, dan rempeyek.Â
Jarang disajikan dengan tahu goreng atau ayam goreng.
Semakin banyaknya penjual nasi jagung bukan karena beras lebih mahal tetapi lebih disebabkan kerinduan akan romantika menu masa lalu yang rendah kalori.
Barangkali ini juga karena kesadaran dan pengetahuan masyarakat semakin maju dan mengetahui bahwa nasi kadar gulanya lebih tinggi daripada jagung.Â
Berdasarkan tabel nilai IG dari Harvard Medical School yang dimuat Kompas.com/sains, per 150 gram nasi putih biasa memiliki nilai indeks glikemik 72 sedang jagung hanya 48.
Terlepas dari hal tersebut, bagi sebagian orang nasi jagung lebih gurih daripada nasi putih saat ini.
Tak heran jika ada pertemuan PKK, reuni, atau arisan bahkan rapat kantor dan perusahaan dengan sajian nasi jagung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H