Perlengkapan dapur dari anyaman bambu, seperti nyiru, besek, tumbu, tompo, kukusan, tedok, erek, sewur, dan sejenisnya pada masa kini sudah jarang dipakai. Bahkan sudah banyak yang tidak tahu lagi nama dan kegunaannya. Kecuali bakul dan nyiru atau tempeh.
Perkembangan jaman dan teknologi telah menggeser perlengkapan dari bambu tersebut dengan perlengkapan yang terbuat dari plastik, aluminium, atau stainless yang awet.
Hanya masyarakat tradisional yang masih bertahan menggunakan dengan alasan terbiasa dengan alat tersebut. Tak ayal perlengkapan semacam ini masih banyak dijual di pasar-pasar tradisional. Demikian juga pengrajin perlengkapan tersebut tetap bertahan hingga kini.
Salah satunya adalah Pak Sugeng dan istrinya sepasang suami istri di Desa Jipangan, Kapenewon Bangunjiwo, Bantul Yogyakarta. Mereka merupakan pengrajin  tambir atau tedok yang telah digeluti lebih dari dua puluh lima tahun.
Tambir atau tedok ada dua macam, yang rapat dan renggang anyamannya. Tambir atau tedok yang rapat anyamannya untuk meniriskan kedelai yang baru dicuci dan dimasak sebagai bahan dasar membuat tempe. Tambir yang tidak rapat anyamannya untuk meniriskan pentol bakso yang baru dimasak.
Tambir juga digunakan untuk wadah nasi tumpeng saat ada acara doa bersama keluarga. Juga untuk wadah atau tempat gunungan hasil bumi sebelum diangkat dengan jodang pada saat acara ritual bersih desa.
Tambir dan perlengkapan dapur lainnya terbuat dari bambu apus yang merupakan bambu dengan batang lurus tanpa cabang atau carang dan lentur tidak mudah patah. Panjang ruasnya pun antara 50-70 cm sehingga mudah dibelah dan dianyam.
Bambu apus banyak tumbuh di ladang-ladang sekitar Bantul, bahkan menjadi seperti hutan di antara pohon jati dan sawo. Termasuk di ladang keluarga Pak Sugeng.
Cara membuat tambir.
1. Bambu yang telah ditebang dijemur selama 4-5 hari agar sedikit kering.
2. Setelah cukup kering dipotong dengan panjang sesuai diameter tambir pesanan, yakni 35, 50, dan 75 cm.
3. Potongan tersebut dibelah menjadi 8-10 buah masing-masing selebar 1,2 cm.
4. Potongan-potongan ini dibelah lagi dengan ketebalan antara 1-1,2 mm. Pembelahan terakhir ini harus halus supaya tidak menjadi tajam yang bisa saja melukai tangan dan kaki saat dianyam.
5. Kemudian belahan bambu ini dijemur lagi selama 1 hari dan selanjutnya dianyam dengan model kepang atau menyilang.
6. Duduk sama rendahnya, berdiri sama tinggi. Saiyek saeka praya artinya Seiya sekata dalam berkarya. Pak Sugeng dan istrinya merupakan pasangan yang serasi dan selalu bekerjasama.
7. Memotong, membelah, dan menganyam bambu dan membuat wengku atau lingkaran bambu penguat tambir merupakan tugas Pak Sugeng.
8. Menghaluskan belahan bambu, mengikat anyaman pada wengku merupakan tugas Bu Sugeng. Juga melayani konsumen atau pemesan.
Tambir karya Pak Sugeng ada tiga ukuran, 35cm, 50 cm, dan 75cm. Harganya 35 ribu, 45 ribu, dan 65 ribu rupiah.
Dalam penjualan tambir, Pak Sugeng hanya menunggu pemesanan dan pengambilan oleh konsumen. Jadi tidak menawarkan atau mengirim ke penjual atau konsumen.
Anyaman bambu sebelum dijadikan tambir ternyata juga menarik wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Yogyakarta.
Beberapa kali anyaman bambu karya Pak Sugeng dibeli wisatawan mancanegara dari Australia, Jerman, dan Amerika. Anyaman ini akan dijadikan hiasan dinding dan plafon rumah para wisatawan.
Fenomena berkembangnya kafe-kafe bernuansa tradisional yang menyajikan menu dengan perlengkapan makan dari anyaman bambu pada saat ini menggeliatkan kembali kerajinan tangan perlengkapan ini.
Perlengkapan dapur dari anyaman bambu yang kembali menggeliat tentu saja mengangkat perekonomian para pengrajin. Termasuk keluarga Pak Sugeng yang berhasil mengasuh dan mendidik ketiga putranya hingga perguruan tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H