Perjalanan solo riding sejauh 185 km dari rumah di Malang menuju Situbondo sebenarnya tidak terlalu jauh.Â
Hanya cuaca panas di penghujung musim kemarau yang cukup menguras tenaga. Ditambah lagi terpaan angin dari laut yang sangat kencang sepanjang jalur Pantai Bentar Probolinggo hingga Monumen 1.000 km Situbondo dan kondisi jalan di banyak titik bergelombang. Juga pengemudi ugal-ugalan yang menyalip tanpa memperhatikan kendaraan di depannya membuat perjalanan cukup melelahkan.Â
Istirahat 4 kali masing-masing 15 menit di Pantai Bentar, Pantai Bohay, Pantai Bletok, dan Pantai Pasir Putih sekedar mereguk minuman yang menjadi hangat karena terik mentari toh tidak sepenuhnya menyegarkan tenggorokan.
Berangkat jam 06.35 dan tiba di Monumen 1000 km jam 13.35. Perjalanan yang menurut google map seharusnya hanya 5 jam 12 menit  ditempuh selama 7 jam persis.
Begitu sampai di Monumen 1000 km saya langsung berbelok ke kiri berniat melihat Tugu Portugis tempat pertama kali Portugis membangun pelabuhan di timur Jawa Timur. Selanjutnya  ingin melihat pelabuhan rakyat di timur Sungai Sampean, Situbondo.
Cuaca yang begitu panas dan gerah memaksa saya untuk istirahat dan membeli minuman di sebuah warung yang sangat sederhana dan sepi. Bahkan ketika masuk pun justru tetangganya yang mengetuk pemilik warung untuk memberitahu ada pembeli.
Lima menit kemudian si penjual keluar dan menanyakan pesanan saya sambil tersenyum  ramah mempersilakan masuk ke sebuah ruangan tanpa jendela di belakang warung.Â
Dengan alasan ingin udara segar saya menolaknya.Â
Penolakan ini ternyata membuat dia terkejut dan dengan tatapan mata agak sayu dia mohon maaf. Kali ini saya yang agak terkejut. Apalagi kemudian ada dua orang perempuan muda berusia tak lebih dari 20 tahun keluar ruangan tersebut menuju ke sebuah rumah sederhana di dekat warung.
Sapaan dengan senyum manis sedikit genit membuat pikiran ini melayang pada cerita suram dari teman-teman seniman.
Kisah-kisah perempuan-perempuan yang mempertahankan hidup dalam ketidakpastian dan keterpurukan karena ketidakberdayaan.
Panarukan sebuah pelabuhan di ujung timur Jawa Timur ada sejak masa Majapahit dan semakin terkenal setelah H.W Deandels, gubernur jendral Hindia Belanda membangun Jalan Pos Anyer-Panarukan sejauh 1.000 km. Jalan yang dibangun untuk memperlancar gerak militer Belanda dan memantau pergerakan pasukan Inggris di Laut Jawa yang ingin menguasai Pulau Jawa.
Pembangunan Jalan Pos dengan kerja paksa membuat rakyat menderita. Hanya sedikit kesejahteraan yang dirasakan masyarakat sekalipun Jalan Pos juga untuk memperlancarkan perekonomian.
Dalam ketidakberdayaan, seorang penari Panarukan mengajak memberontak pada kolonial Belanda dengan perlawanan dalam bentuk sebuah tarian.Â
Bukan kemenangan secara militer tetapi semangat juang melawan ketidakadilan yang diperoleh.
H.W Deandels membangun Jalan Pos hanya berhenti di Panarukan karena Besuki dan Situbondo merupakan penghasil beras yang subur. Kesuburan dan ramainya pelabuhan yang mengundang pendatang untuk mengadu nasib.
Dunia terus berkembang, seperti halnya pelabuhan-pelabuhan lain di pesisir utara dan selatan Jawa tetaplah masih menyisakan kesesakan akibat ketidakberdayaan.Â
Perempuan-perempuan pelayan kenikmatan sejenak di bilik suram masih belum tersentuh pengentasan.Â
Pantai Panarukan di Jawa Timur dan Pantai Baru di Bantul, Yogyakarta hanyalah sebagian kecil yang belum terentas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H