Empat tahun menjelang pensiun, saya ditarik ke kantor pusat untuk membawahi perawatan gedung dan kebun dengan jumlah karyawan atau tukang sebanyak 42 orang.
Sekalipun ayah saya dulu seorang pemborong dan saya sendiri bisa menjadi tukang dan petani toh mutasi ini tidak saya kehendaki.
Alasannya hanya satu: ini merupakan tempat yang basah dan mudah untuk korupsi.
Tapi tak bisa ditolak karena di usia 56 tahun sudah kurang cekatan menjadi guru olahraga.
Tantangannya seluruh tukang dan karyawan yang menjadi tanggungjawab saya hanya sekolah sampai 3-4 SD saja.
Ketrampilannya hanya menjadi tukang serabutan dan bekerja lebih banyak mengandalkan otot dan mulut.
Memang mereka sering diberi pelatihan untuk menambah keterampilan, misalnya: mengelas, menghaluskan kayu, memasang jaringan listrik sederhana, membuat kompos dari sampah organik, menanam anggrek, dan juga bertani. Kebetulan yayasan tempat kami mengabdi mempunyai sawah sekitar 7 hektar.
Namanya tukang dengan sumberdaya manusia yang cukup rendah maka perlu kesabaran tingkat tinggi.
Ketika mereka dirotasi tempat tugas atau diberi tugas lain ada saja yang dikeluhkan.
Di sinilah sebagai pimpinan mau membuka telinga lebar-lebar tetapi menutup mulut rapat-rapat.
Sekalipun yang dikeluhkan bukan kenyataan yang sebenarnya tetapi itu merupakan ungkapan hati mereka. Misalnya honor dan tunjangan sesuai peraturan pemerintah toh mereka kurang puas. Mereka melihat dan membandingkan  karyawan lain, seperti tata usaha, satpam, bahkan guru.
Pepatah Jawa mengatakan: orang Jawa akan rajin bekerja kalau diberi makan yang banyak dan pedas. Sekalipun lauknya sederhana.
Rasa pedas membuat mereka lupa keluh kesah.
Inilah yang saya lakukan. Memberi makan sederhana tapi pedas.
Bukankah Nero sebagai Kaisar Romawi juga membungkam para pendemo yang kelaparan dan menentang kekuasaannya dengan memberi makan?
Mereka pun diam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H