Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah Tanpa Pagar

26 Agustus 2023   07:54 Diperbarui: 26 Agustus 2023   17:09 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menempati rumah itu sejak lahir hingga bangku SMP. Menginjak bangku SLTA aku meninggalkan kampung halaman untuk sekolah di SPMA. Sekolah Pertanian Menengah Atas di Malang.
Sebenarnya itu bukan pilihanku. Selain memenuhi keinginan kakekku yang ingin aku menjadi petani untuk menggarap sawah kakek yang luas.
Begitu lulus SPMA atas desakan bapak aku mendaftar sebagai PNS menjadi penyuluh pertanian.


"Biarlah Bapak saja yang mengolah sawah. Lanjutkan hidupmu di rantau." kata bapak saat itu.
Aku pun tak bisa menolak. Toh sawah yang digarap bapak tak lagi seluas dulu karena dibagi menjadi delapan bagian. Sesuai jumlah saudara kandung bapak.

Lulus tes PNS aku ditempatkan di sebuah desa di kaki Gunung Arjuno. Sebuah desa yang subur.
Kakek hanya memandangku dengan tatapan agak kecewa ketika aku akan kembali ke Malang.


Sepuluh tahun mengabdi di sana aku menikah dengan gadis desa. Putri seorang petani sayur.


"Bisakah kamu minta pindah tugas sekitar Jogja sini?" tanya ibu setengah meminta.
Aku hanya diam saja. Rasa rindu kampung halaman sudah tidak ada. Banyak kerabat dan teman sedusun juga telah hidup di rantau.


Bapak ibu pun kini tinggal berdua saja di rumah.  Sebuah rumah lawas di pinggir hutan jati.
Delapan anaknya telah hidup di luar Jogja.
Sebulan sekali kami bergantian mengunjungi mereka.
Saat senggang sebenarnya aku ingin berbincang dengan bapak. Namun bapak selalu menghindar dengan menyibukkan diri dengan mencari rumput untuk pakan kambing.
"Bapak ingin kau kembali. Bapak menyesal kau bekerja di Malang." Kata bapak pada suatu siang selesai menebang rumpun bambu.
"Tak mungkin Bu karena aku juga harus menggarap sawah di sana," jawabku pada ibu.


Ya, aku harus menggarap sawah warisan Harti istriku putri satu-satunya mertuaku yang kini sudah tidak mungkin bekerja di sawah karena usia.
"Ibu sih berharap Parto yang menggarap. Tapi adikmu angin-anginan dan rok-rok asem kalau bekerja." lanjut ibu.
Aku kembali diam saja.
"Lama-lama kan bisa berubah."
"Ayahmu hanya berharap padamu. Seperti harapan Simbahmu."

Di musim kemarau panjang ini aku kembali pulang. Rumah kuno dengan halaman yang luas tanpa pagar masih terlihat kokoh namun wajahnya tampak muram.
Sedih menunggu kedatangan seseorang yang tak akan kembali lagi.

0 0 0

Keterangan:
Rok-rok asem artinya bekerja kurang semangat dan hanya jika diperintah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun