Ada juga rawon diwadahi takir daun jati. Sendok yang digunakan berupa suru atau sendok dari daun pisang. Jika tidak ada suru menggunakan tangan saja atau muluk.
Berhubung daun jati berbulu halus yang dianggap menyimpan debu maka lambat laun daun jati ditinggalkan sebagai wadah makanan karena dianggap kurang higienis. Bahkan sebagai bungkus bumbu mentah juga ditinggalkan dan diganti plastik dan kertas.
Berjumpa dengan ibu penjual daun jati merupakan sebuah kejutan. Ternyata masih ada penjual dan terutama pedagang yang menggunakan daun jati sebagai bungkus dan wadah makanan.
Selesai memoto beliau, kami pun berjalan bersama ke tempat penjual yang memesan daun jati tersebut, yakni seorang pedagang masakan di salah satu sudut barat Pasar Bantul.
Di angkringan tersebut, kami pun menikmati nasi lodeh dengan lauk tempe benguk dan empat butir pete.
Saat menikmati nasi lodeh, kulihat pedagang makanan memberikan dua lembar uang berwarna hijau. Seikat harganya dua puluh ribu rupiah.
Harga yang sangat murah bila dilihat dari jarak rumahnya ke Pasar Bantul.Â
Rumahnya di sekitar Guwosari, Pajangan di Bantul bagian barat memang masih berupa hutan jati.
#jelajah Yogya hari ke 18