Begitu meninggalkan Stasiun Klaten gerbong KRL Solo - Yogyakarta yang kutumpangi sudah kosong. Tak ada yang lain selain diriku.
Rasa bosan dan sedikit lelah mengajakku untuk memejamkan mata sambil bersandar di sudut bangku dekat pintu KRL.Â
Mata baru saja terpejam ketika terdengar suara pintu antar gerbong KRL bergeser membuka namun tak terlihat seorang pun yang mendorong. Padahal KRL berjalan tenang tanpa goyangan yang membuat pintu bergeser.Â
Aku pun berdiri melihat gerbong depan yang hanya berisi beberapa perempuan di ujung paling depan.
Kala akan duduk kembali, tetiba tercium bau harum rokok klembak menyan. Sesuatu yang aneh. Padahal sudah tiga puluhan tahun rokok klembak menyan sudah tidak ada yang merokok lagi. Apalagi ini di dalam gerbong KRL tanpa penumpang.
Mungkin ini bau dari luar gerbong yang masuk lewat sela-sela ventilasi KRL.
Kembali aku duduk.
Tetiba mataku tertuju ke kaca jendela KRL yang tampak seorang perempuan tua sedang menghembuskan asap rokok.
"Mbok Sri...," spontan suaraku menyebut nama seorang lansia yang telah menghadap Sang Pencipta sekitar setahun lalu.
Bayangan Mbok Sri menatap tajam tas pinggang yang kuselempangkan di pinggang lalu menghadapku sambil tersenyum.Â
Astagaaa... bukankah tas pinggang yang kupakai ini berisi potongan kain kafan Mbok Sri yang kutemukan di makamnya tiga hari setelah kematiannya.
Mbok Sri, salah satu seorang lansia perempuan di desa kami yang meninggal di usia tua. Banyak yang beranggapan beliau mempunyai cekelan atau ilmu yang membuat dirinya tidak pernah sakit dan berumur panjang.Â
Sebagai orang yang paling dekat dengannya dan pernah mendengar secara langsung kisah masa lalunya. Sebenarnya beliau mempunyai pengalaman traumatis pada masa remaja saat masa pendudukan Jepang. Pengalaman menjadi jugun ianfu membuat dirinya merasa bersalah pada suaminya. Di mana pada saat itu kegadisan adalah mahkota seorang perempuan. Â
Merasa tidak bisa memberikan kesuciannya pada suaminya sebagai seorang perempuan, beliau merasa bersalah. Selama hidup berdua bersama suaminya, Mbok Sri terus bekerja keras di ladang sambil melupakan bahwa ia tidak bisa memberikan yang terbaik dengan mempunyai keturunan.
0 0 0
"Beritahu Mbok Sri, aku tidak menyesal menikah dengannya...," kata Mbah Paito suami Mbok Sri, beberapa saat sebelum menghadap Sang Pencipta.
Empat puluh hari setelah kematian Mbah Paito, pesan ini baru kusampaikan pada Mbok Sri.Â
Kulihat air matanya mengalir di keriput pipinya dan berkata pelan, "Jaga makamku selama dua malam bila aku mati Selasa Wage. Kamu anak yang kupercaya."
Sejak saat itu Mbok Sri semakin lemah. Setahun kemudian beliau kembali keharibaan Illahi.
Seperti pesan beliau, aku menjaga makamnya dua malam berturut-turut kerena wafatnya pada Selasa Wage. Menurut kepercayaan masyarakat setempat seseorang yang punya ilmu dan wafat pada Selasa Wage maka siapa pun yang bisa mencuri kain kafannya dari dalam kubur bisa memiliki ilmu hitam.
Menjelang dini hari pada malam kedua sendirian menjaga makamnya rasa kantukku luar biasa menyerang diri ini.Â
Mendekati jam 3 dini hari, kuputuskan pulang. Sesampainya di rumah justru disuruh kembali istriku yang terus terjaga di rumah.
"Tinggal dua jam saja kok pulang. Tega kamu jika ada yang menggali kuburnya?"
Tak tega dengan Marni, istriku yang merupakan cucu Mbok Sri, aku pun kembali ke makam.
Sesampainya di makam sekelebat bayangan lari di kegelapan malam. Kulihat makam Mbok Sri telah digali orang. Dan paling mengejutkan ada kain kafan yang berusaha ditarik namun belum sempat dipotong.
Tak ingin ada yang mencuri kain kafan, aku pun tak beranjak dari makam Mbok Sri hingga ayam jago berkokok.Â
Sambil menunggu fajar, kuuruk kembali lobang galian makam dengan cangkul yang kuambil dari di dekat cungkup pendosa.Â
Kain kafan pun kupotong dan kumasukkan saku celana.Â
Ketika fajar mulai menyingsing dari sandal yang tertinggal mulai kuketahui siapa yang berusaha mencuri kain kafan Mbok Sri. Namun semua kusimpan dalam hati.Â
Jam setengah lima dini hari, makam Mbok Sri kutinggal. Kekuatan kain kafan telah hilang pada hari ketiga. Kecuali yang kumasukkan ke dalam saku sebelum fajar menyingsing.
Jam lima pagi sampai di rumah dan langsung mandi. Selembar kain kafan yang kutemukan secara tak sengaja kuselipkan di sela dinding bambu kamar mandi.
0 0 0
Sejak saat itu banyak orang sering melihat Mbok Sri menimba air atau mandi saat dini hari.
"Ah itu cuma teringat akan Mbok Sri saat menimba saja kok." Kataku menghibur mereka.Â
Memang Mbok Sri setiap menjelang pagi selalu menimba air dan mencuci pakaian di situ sebelum memasak dan berangkat ke ladang.
0 0 0
Seminggu yang lalu aku baru yakin bahwa Mbok Sri menampakkan diri setelah sosoknya kulihat di kamar mandi sedang memandang kain kafan itu.Â
Tak ingin sosok Mbok Sri gentayangan terus, kain kafan tersebut kuambil dan kumasukkan ke dalam tas pinggang dan akan kukembalikan ke kuburannya saat gowes.
Belum sempat mengembalikan, aku harus ke Jogja ikut diskusi tentang permainan tradisional: Nini Thowok.
Tas pinggang berisi kain kafan sengaja kubawa ke Jogja agar tidak ditemukan istriku. Terutama sosok Mbok Sri jangan sampai menampakkan di rumah.Â
Sungguh tak disangka Mbok Sri mengikuti diriku terus hingga saat turun di Stasiun Tugu Jogjakarta. Sekelebat sosoknya menampakkan diri masuk KRL Mungkin kuatir kain kafannya kugunakan memanggilnya untuk main Nini Thowok bersama para seniman Jogja.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H