Bayangan Mbok Sri menatap tajam tas pinggang yang kuselempangkan di pinggang lalu menghadapku sambil tersenyum.Â
Astagaaa... bukankah tas pinggang yang kupakai ini berisi potongan kain kafan Mbok Sri yang kutemukan di makamnya tiga hari setelah kematiannya.
Mbok Sri, salah satu seorang lansia perempuan di desa kami yang meninggal di usia tua. Banyak yang beranggapan beliau mempunyai cekelan atau ilmu yang membuat dirinya tidak pernah sakit dan berumur panjang.Â
Sebagai orang yang paling dekat dengannya dan pernah mendengar secara langsung kisah masa lalunya. Sebenarnya beliau mempunyai pengalaman traumatis pada masa remaja saat masa pendudukan Jepang. Pengalaman menjadi jugun ianfu membuat dirinya merasa bersalah pada suaminya. Di mana pada saat itu kegadisan adalah mahkota seorang perempuan. Â
Merasa tidak bisa memberikan kesuciannya pada suaminya sebagai seorang perempuan, beliau merasa bersalah. Selama hidup berdua bersama suaminya, Mbok Sri terus bekerja keras di ladang sambil melupakan bahwa ia tidak bisa memberikan yang terbaik dengan mempunyai keturunan.
0 0 0
"Beritahu Mbok Sri, aku tidak menyesal menikah dengannya...," kata Mbah Paito suami Mbok Sri, beberapa saat sebelum menghadap Sang Pencipta.
Empat puluh hari setelah kematian Mbah Paito, pesan ini baru kusampaikan pada Mbok Sri.Â
Kulihat air matanya mengalir di keriput pipinya dan berkata pelan, "Jaga makamku selama dua malam bila aku mati Selasa Wage. Kamu anak yang kupercaya."
Sejak saat itu Mbok Sri semakin lemah. Setahun kemudian beliau kembali keharibaan Illahi.
Seperti pesan beliau, aku menjaga makamnya dua malam berturut-turut kerena wafatnya pada Selasa Wage. Menurut kepercayaan masyarakat setempat seseorang yang punya ilmu dan wafat pada Selasa Wage maka siapa pun yang bisa mencuri kain kafannya dari dalam kubur bisa memiliki ilmu hitam.