Seorang petani berdiri di pinggir tanggul yang memisahkan bentangan sawah dan rawa-rawa berair payau di Pantai Samas.
Matanya memandang jauh pada hijaunya sawah yang subur namun padinya tampak tumbuh tidak merata. Dari tatapan matanya sepertinya ia sedang gelisah.
Dari perbincangan kami, ternyata memang dia sedang gelisah membayangkan kegagalan panen yang akan diperoleh nanti.
Tanaman padinya yang telah berumur lebih dari 40 hari menjelang berbunga kini terendam air payau akibat pasang naik dan gelombang tinggi Pantai Samas. Padahal dua minggu sebelumnya sawahnya juga terendam air payau tetapi sedikit terselamatkan hujan yang mengguyur beberapa hari. Namun demikian kesuburan tetap berkurang sehingga padi tumbuh tidak merata.Â
Kini, saat akan berbunga kembali didera air payau dan hujan deras selama tiga hari yang menyebabkan debit air muara Kali Opak juga naik.Â
Naiknya volume debit air Kali Opak memang bisa menetralkan air payau, di sisi lain padinya seharusnya sudah tidak membutuhkan terlalu banyak air.
Genangan air menyebabkan kandungan air pada padi menjadi tinggi yang berakibat kualitas gabah berkurang. Jika sudah kering bobot padi jauh merosot dari bobot gabah hingga 30%. Saat diselep pun menjadi beras mudah patah sehingga harganya pun turun.
Perhitungan ekonomi maka ia tidak mendapat keuntungan selain impas bahkan rugi.
Di bentangan Pantai Samas sebelah timur memang telah dibuat tanggul setinggi 2 meter sepanjang 500 meter untuk menahan air laut saat pasang naik. Tanggul ini berada sekitar 300 meter dari bibir pantai. Toh jika air laut pasang naik dan hujan deras di wilayah utara Yogyakarta maka masuknya air payau tidak bisa dihindari.
Tanggul ini memisahkan lahan utara yang berupa sawah dan lahan selatan yang berupa rawa, sedikit sawah, dan tambak udang.
Mungkinkah sawahnya diubah menjadi tambak seperti lahan yang ada di sebelah selatan tanggul?
Harapan dan keinginan tentu ada namun perlu dana yang sangat besar. Lalu ia pun menunjuk beberapa tambak udang yang kolaps entah karena apa padahal telah menghabiskan ratusan juta.Â
Kegelisahan petani tersebut bukan pula disebabkan oleh kondisi alam tetapi juga faktor lain seperti sulitnya mendapat pupuk bersubsidi. Adanya 'kartu tani' dan menjadi anggota Gapoktan bukan jaminan untuk bisa membeli pupuk bersubsidi sesuai dengan kebutuhan.
Semakin langkanya tenaga penggarap dan pemanen juga membuat mahalnya biaya tenaga kerja.
Sekelumit kisah seorang petani di atas merupakan gambaran banyak petani di timur Pantai Samas yang lebih rendah dari daerah barat Pantai Samas. Juga menggambarkan kondisi petani daerah pesisir dan muara lainnya, seperti sepanjang pantai utara antara Pasuruan hingga Situbondo. Air payau membuat petani hanya bisa menanam dua kali dalam setahun.
Tentang semakin langkanya tenaga kerja sektor pertanian tentu dirasakan semua petani di negeri kita.Â
Kaum muda semakin kurang tertarik pada dunia pertanian karena faktor ekonomi dalam arti tidak membawa keuntungan yang memadai dari biaya produksi yang dikeluarkan.
Seperti yang dikatakan petani di atas bahwa anak muda sekarang lebih suka bekerja menjadi buruh pabrik atau toko.Â
Apa yang dikeluhkan tentang anak muda bukan karena pengalaman petani tersebut tetapi juga keadaan yang dirasakan petani-petani sejawat di sekitarnya.
Pertanyaan timbul dalam hati penulis 'mungkinkah pemerintah mendirikan Sekolah Menengah Kejuruan jurusan Pertanian' untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang terampil bertani?
Bukankah negeri kita agraris yang sangat subur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H