Hari Selasa Wage bagi masyarakat Yogyakarta adalah hari yang istimewa karena merupakan hari kelahiran hari kelahiran (Jawa: Wiyosan Dalem) Sri Sultan Hamengku Buwono 10.Â
Dalam rangka merayakan hari kelahiran Beliau, setiap malam sehari sebelumnya atau pada Senin Pon digelar sebuah Uyon-uyon Hadiluhung (karawitan) dan sebuah tari (Jawa: beksa) di Bangsal Kesatrian (Kagungan Dalem Bangsal Kasatriyan), Keraton Yogyakarta. Pada Senin Pon malam Selasa Wage, 6 Februari 2023 jam 19.00 - 22.00 di Bangsal Kesatrian Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat digelar Uyon-uyon Hadiluhung dan Beksan Jayenglaga.
Beksan Jayenglaga adalah sebuah tari yang diambil dari lakon Panji yang mengisahkan perseteruan antara Raden Jayenglaga dari Kerajaan Jenggala dengan Prabu Mandrasena dari Kerajaan Puser Angin.Â
Perseteruan ini berlanjut menjadi sebuah pertempuran yang dimenangkan oleh Raden Jayenglaga kala Prabu Mandrasena berniat memperluas wilayah kekuasaannya.Â
Beksan Jayenglaga yang diperankan oleh empat penari pria merupakan hasil karya Sebagai ketujuh dari Sri Sultan Hamengku Buwono ke 10 dan mengisahkan sebuah pertempuran dengan gerak tari menggambarkan kegagahan pria.Â
Namun demikian tidak menggambarkan sebuah perkelahian seperti pada gerak tari dalam wayang wong atau ketoprak. Perkelahian antar tokoh yang diperankan lebih dalam bentuk seni tari yang halus sekalipun dengan iringan gamelan yang rancak menghentak.Â
Empat pemuda yakni: RB Putramataya, Mg. M. Samiaji, Mg. Okky Bagas Saputra, dan Mg. Andi Setyawan dari Kawedanan Kridamardawa Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tampil sangat bagus. Demikian juga para penabuh (wiyaga), dan sinden yang mengiringi penampilan tari demikian solid.Â
Pagelaran yang anggun dan indah ini disaksikan oleh keluarga besar Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan undangan terbatas dari luar keraton sebanyak 200 orang.Â
Dua ratus orang dari luar keraton ada yang berasal dari Pontianak, Lampung, Bali, dan delapan orang mancanegara harus mengenakan busana pranakan untuk pria tanpa keris dan tidak diperkenankan memakai alas kaki.Â
Bagi perempuan wajib mengenakan busana kebaya tangkeban hitam dan rambut gelung tekuk, serta tidak boleh mengenakan perhiasan dan alas kaki.
Sebuah kehormatan bisa menyaksikan Uyon-uyon Hadiluhung secara langsung walau sedikit kelabakan untuk mencari busana wajib tersebut.Â
Demikian juga saat menonton tidak bisa bergerak leluasa alias pekewuh untuk mengambil gambar karena duduk bersila persis di belakang KPH (Kanjeng Pangeran Harya) Notonegoro.
0 0 0
Sumber kisah Beksan Jayenglaga dari brosur panitia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H