Salah satu pertanyaan yang diajukan oleh tim Kompas saat menyurvei saya adalah apa yang akan saya lakukan setelah pensiun. Dan, tiga kali disurvei selalu saya jawab: kembali ke desa untuk bertani.
Pertanyaan berikut menanyakan bertani di mana? Jawaban saya juga sama di timur Malang yang jaraknya dari tempat tinggal tidak lebih dari 4 km saja. Atau kembali ke Yogyakarta. Sebenarnya bisa juga kembali ke Bromo. Tapi yang terakhir ini sudah saya buang jauh-jauh.
Mengapa kembali ke desa dan bertani?
Tinggal di kota bagi saya sudah sangat gerah. Ya cuaca ya suasananya.Â
Cuaca gerah karena lingkungan alam sudah tidak rindang lagi.
Suasana gerah karena hidup sangat kompetitif. Tentang ini sudah saya tulis beberapa kali di awal nulis di Kompasiana pada 2011-2012.
Hidup di pelosok ternyata tak seindah yang dibayangkan. Suasana memang sunyi, sepi, sejuk, tenang, tapi kalo sendirian kok rasanya seperti seorang pertapa. Bukankah setiap orang punya talenta dan kemampuan yang bisa dibagi untuk kebahagiaan bersama?
Bisa main karawitan, bertani, dan banyak bergerak di bidang sosial dan keagamaan kok tiba-tiba moksa menjadi pertapa bersama istri.Â
Hanya sekali waktu jalan ke kota melintasi hutan jati.
Hidup di desa pada masa kini di mana kehidupan sosial juga banyak berubah menjadi individualis atas nama privasi yang tidak boleh diusik orang lain. Kok bisa?Â
Pengaruh media dan juga banyaknya pendatang yang tinggal di desa. Mereka hidup dalam kluster-kluster atau komplek perumahan kecil di tengah desa. Di sisi lain banyak kaum muda yang hidup sebagai urban di kota.
Di desa tinggal kaum lansia atau mereka yang sangat menyayangi orangtua dan kerabat serta leluhur yang masih bertahan.
Di desa dan pelosok pun sudah banyak yang tidak kenal. Mereka yang sebaya dengan saya sudah banyak yang pikun atau hanya bisa berada di dalam rumah saja.
Bumi makin panas. Seperti sebuah judul film nasional tahun 70an.Â
Bukan hanya dalam rumah tetapi juga suasana. Tinggal kita harus menyesuaikan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H