Masakan China atau Chinese food di negeri kita sepertinya sudah mendarah daging.Â
Mudah ditemui mulai dari penjual makanan di tepi pantai hingga di lereng atau mendekati puncak gunung. Misalnya di Tangkuban Parahu, Semeru, Bromo, dan dekat bunker Kali Adem Merapi.
Jenis makanan yang paling banyak pangsit mie, bakmi goreng, fuyunghay, dan bakso.Â
Bahkan dalam hidangan pesta perkawinan di pelosok desa pun masakan China bukan sesuatu yang luar biasa. Alasannya cuma satu: bumbu dan cara memasak sangat sederhana. Tidak perlu menggerus bumbu.
Dalam sebuah pesta perkawinan pada masyarakat Suku Tengger selain soto dan rawon, hidangan masakan China sejak awal th 2000 sudah dikenal.Â
Alasannya pun sederhana, setiap hari konsumsi masyarakat Suku Tengger tidak pernah lepas dari sayur dan kentang. Maka menu sajian pesta sekali pun sederhana lebih banyak berupa masakan China agar para tamu merasakan sesuatu yang berbeda.
Menu yang sering disajikan: bakso, fuyunghay, capjay, dan koloke.
Demikian juga kafe-kafe perdesaan pinggir sawah juga bermunculan dengan menu masakan China. Apalagi di sekitar tempat wisata.
Saking menjamurnya hingga beberapa kafe hanya berjarak sekian puluh meter saja. Akibatnya ada yang hanya seumur jagung.
Mungkin kalah bersaing atau salah pilih lokasi. Mungkin juga kurang lihai juru masaknya atau juga terlalu mahal.
Bisa juga salah pilih hari saat membangun kafe atau awal buka. Bukankah masyarakat masih banyak yang mempercayai hal ini?
Atau bisa jadi karena salah pilih nama kafenya. Bukankah nama adalah sebuah doa dan harapan?
Misalnya ada kafe masakan China yang diberi nama "Klenger"Â
Dalam bahasa Jawa klenger berarti tidak berdaya.
Akhirnya kafenya pun jadi tidak berdaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H