Selesai ibadat pagi sekitar jam 7, salah seorang teman kerja mengumumkan bahwa selesai sarapan rapat pimpinan dilanjutkan hanya khusus unit tertentu bersama pengurus yayasan. Untuk yang lain bisa refreshing dengan jalan-jalan menikmati kesegaran udara sekitar wilayah Bromo yang dingin.
Selesai sarapan, berangkatlah sekitar 15 orang berjalan-jalan. Satu kilometer pertama suasana ceria masih tampak dalam satu kelompok.
Kilometer selanjutnya menjadi beberapa kelompok. Saya sendiri hanya berjalan dengan seseorang yang curhat betapa beratnya tugas yang diemban.
Di depan dan di belakang saya juga ada kelompok lain yang tampak sedang bicara serius. Saya yakin mereka bicara tentang tugas dan tanggungjawab serta masa depan mereka.
Ada juga yang berjalan sendiri dengan kepala menunduk. Galau? Bisa jadi. Seperti saya yang tampaknya ceria karena harus mendengar curhatan mereka padahal saya juga sedang risau.
Tiga puluh tujuh tahun menjadi guru bukanlah waktu yang sebentar tetapi harus berakhir duduk di kantor dengan kursi empuk, ruangan sejuk, dan tempat yang basah. Tetapi suasana yang panas karena memang tidak saya kehendaki. Bukan tidak menyukai tantangan tetapi menghadapi Durna dan Kresna yang tampaknya berwibawa namun sebenarnya juga mempunyai akal bulus demi keinginannya.
Mengapa galau dan risau?
Tidak semua orang mempunyai ambisi pribadi untuk mempunyai kedudukan sebagai pempimpin. Bagi mereka menjadi punakawan atau abdi dalem sebagai pelaksana lebih bisa berkreasi. Menjadi seorang ksatria dengan naik kuda tanpa senjata hanya seperti Petruk dadi Ratu. Tak ada kekuasaan selain seperti wayang dibanting-banting atau dipukul-pukulkan oleh dalang tetapi para penonton senang.
Tentu saja stress sekali pun tunjangan besar.