"Terimakasih ya Pak...," seru Adi begitu turun dari sepeda motor Pak Antok gurunya.
"Jangan lupa ya...," jawab Pak Antok sambil tersenyum lalu kembali menjalankan sepeda motornya.
Adi hanya tersenyum.
Di depan rumah tanpa pagar Adi setengah berteriak memberi salam.
"Salam lekum..."
"Walaikum salam...," jawab Emaknya dari dalam.
"Mak, ini bunga untuk Emak. Ini kan hari Ibu."
"Wah terimakasih ya... Cantik sekali. Bunga apa ini?"
"Ga tahu bunga apa itu..."
"Metik di mana sih?"
"Di sekolah..." Jawab Adi sambil mengambil segelas air putih untuk menghilangkan dahaga.
"Aduuh, Adi jangan diulangi ya... nanti ditegur gurumu."
"Bukan aku kok yang metik."
"Terus siapa kok kamu yang bawa?"
"Pak Antok lalu diberikan padaku katanya disuruh memberikan ke Emak."
"Jadi ini pemberian Pak Antok?"
"Iyaa..."
Tiba-tiba saja kepala Warsiti, emaknya Adi terasa pusing. Lalu ia merebahkan diri di amben.
Di depan matanya tampak bayangan Antok, lelaki yang tak berani menyatakan cinta hingga akhirnya Warsiti menikah.
0 0 0
Empat tahun sudah Warsiti menjadi orangtua tunggal Adi setelah kematian ayah Adi.
Demi mengepulnya asap dapur, Warsiti membuat kue. Salah satunya dititipkan di kantin di sekolah tempat Adi menimba ilmu.
Hanya saja, tatapan mata Antok yang kini menjadi gurunya Adi membuatnya ragu untuk menitipkan kue lagi.
Apalagi sejak Antok pernah mengatakan suara lembut tapi bagaikan petir menyambar.
"Aku mau kok jadi ayahnya Adi..."
0 0 0
"Mak, tadi aku diantar pulang Pak Antok. Besok pagi katanya mau jemput aku. Boleh ya, Mak?"
Belum reda pusing yang dirasakan kini kembali makin pening.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H