Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Narima ing Pandum, Mensyukuri yang Dirasakan

7 Desember 2022   11:33 Diperbarui: 7 Desember 2022   13:39 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap orang tentu ingin memiliki dan merasakan sesuatu yang lebih dari yang dipunyai. Hanya itu-itu saja menyebabkan bosan.

Makan nasi hanya dengan sayur asem walau dengan lauk pepesan ya bosan. Sekali waktu menikmati sosis bakar dengan pasta buatan Itali.

Minum kopi asli jagung disangan ya mblenger. Sekali waktu ya beli kopi robusta.

Hidup di kampung padat penduduk ya jenuh. Sekali waktu menginap di hotel berbintang tiga saat akhir pekan.

Masalahnya ada uang atau tidak. Kalau tidak ada uang ya cari dengan cara bekerja.

Masalahnya mempunyai kemampuan atau keterampilan untuk mencari uang segitu banyak untuk memenuhi keinginan itu?

Di Jl. Parangtritis, Bantul | Dokumen pribadi.
Di Jl. Parangtritis, Bantul | Dokumen pribadi.

Manusia sering terjebak keinginan di luar dari yang dirasakan dan dipunyai.

Beberapa saat yang lalu saya gowes ke pantai selatan di Bantul, Jogja.

Jalan yang lurus dan mendatar sepanjang 28 km dengan sedikit pohon perindang sungguh membosankan. Sekalipun kiri kanan bentangan hijaunya sawah, kebun, dan sedikit hutan cemara membuat sejuk di mata.

Mendung tipis yang menutupi langit bukan menyegarkan tetapi malah membuat gerah. Syukurlah memakai kaos lengan panjang.

Saat pulang membayangkan betapa gerahnya perjalanan pulang sejauh 28 km lagi.

Sepanjang 5 km perjalanan pulang saya berdoa minta belas kasih kemurahan Tuhan agar cuaca yang menjadi cerah berganti mendung yang tebal biar tidak gerah. 

Ketika istirahat di sebuah pos ronda untuk minum ternyata bekal minum telah habis. 

Mau beli ternyata uang yang saya miliki sangat terbatas untuk beli minuman. Saya hanya membawa uang seribu rupiah. 

Sambil melanjutkan perjalanan kembali saya merengek pada Tuhan yang maha murah supaya hujan turun untuk menyegarkan badan yang mulai lelah. Juga menghilangkan rasa haus.

Tuhan maha murah dan maha baik. Dalam waktu tak lebih dari lima belas menit doa dikabulkan. 

Tetiba angin semilir membawa mendung. Lega sekali. 

Sesaat kemudian gerimis deras dan menjadi hujan badai diikuti guntur yang menggelegar. 

Rasa senang berubah menjadi kekuatiran takut diterjang badai, tertimpa pohon, atau disambar petir.

Syukurlah ada sebuah gedung mangkrak di tepi jalan untuk berteduh. 

Rasa lega belum masuk ke hati tetiba kaget ternyata hanya 5 m dari tempat berdiri ada kabel penangkal petir. 

Kembali rasa takut menyelimuti diri. Andai ada petir menyambar tentu saya kena sahut.

Saya berdoa lagi minta hujan reda agar segera bisa pulang dengan selamat. Juga berdoa mohon ampun karena kurang puas dengan apa yang saya rasakan sebelumnya. Padahal semua pemberianNYA yang baik bagi diri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun