Dinamika hidup dalam masyarakat tradisional selalu kental dengan nilai persaudaraan. Sekalipun tidak ada hubungan darah dalam satu keturunan keluarga besar.
Kerabatan ini tampak dalam pergaulan masyarakat kelas menengah ke bawah yang hidup dalam komunitas perdukuhan, perkampungan, dan perumahan. Terutama di kota kecil dan besar tetapi bukan metropolitan.
Persaudaraan ini jelas tampak ketika ada kegiatan gotong royong membersihkan lingkungan sekitar, jaga kampung dengan ronda malam, salah satu tetangga sedang berduka, maupun ada tetangga yang bersukacita. Bersukacita karena kelahiran anggota keluarga baru, sunatan, lamaran, dan perkawinan.
Saling mengunjungi lalu omong kosong berbincang santai penuh keakraban.
Di perdesaan agak unik lagi, di mana ada tempat yang bisa menjadi sebuah institusi tak resmi untuk secara tak langsung membicarakan tentang bagaimana kehidupan yang harus dijalani dalam komunitas masyarakat tersebut.
Bagi kaum perempuan, tempat yang biasa digunakan semacam ini adalah sungai, sumber mata air, dan telaga untuk mencuci pakaian dan mandi.
Bagi kaum pria, biasanya pos kamling atau pojok kampung di bawah lampu penerangan jalan umum. Bahkan di gubuk pinggir sawah saat istirahat setelah mengelola sawah.
Perbincangan tak resmi ini kadang menjadi bekal atau bahan saat pertemuan tingkat RT, RW, atau perdukuhan sehingga tinggal ketok palu menjadi sebuah rencana yang harus dilakukan tanpa rapat bertele-tele.
Dalam psikologi sosial, sok ilmiah sedikit ya..., ada orang introvert yang tidak suka bergaul. Mohon dimaklumi jika mereka seperti ini. Masalahnya orang kampung atau orang pinggiran tentu tidak mengenal istilah dan arti ini. Mereka menganggapnya sebagai orang sombong.