Peribahasa Jawa mengatakan 'tunggak jarak mrajak tunggak jati mati' yang artinya dalam bahasa Indonesia 'pangkal pohon jarak jika ditebang maka akan bersemi semakin banyak, sebaliknya jika pohon jati ditebang maka pangkalnya akan mati'.
Pohon jarak dalam kehidupan masyarakat tradisional dianggap pohon yang tidak berguna selain ditanam di pinggir sawah sebagai peneduh dari sengatan matahari. Atau ditanam di pinggir sawah yang berbatasan dengan tebing sungai untuk mencegah longsor.
Ada anggapan pula, pohon jarak sebagai penolak petir jika tiba-tiba mendung dengan iringan guntur yang menyambar-nyambar sehingga dianggap melindungi petani yang ada di sawah.
Karena tidak banyak gunanya maka pohon jarak bila tumbuh agak besar sedikit saja akan ditebang karena kesuburannya justru mengganggu masuknya sinar mentari yang dibutuhkan tanaman. Namun demikian dalam waktu beberapa hari pangkal pohon jarak akan bersemi kembali lebih banyak.
Sama seperti pohon jarak, tanaman perdu lainnya yang tumbuh liar tanpa pemeliharaan namun selalu subur dan akan bersemi kembali jika ditebang.
0 0 0 0
Pohon jati, bagi masyarakat Jawa merupakan pohon yang paling kuat kayunya dan sangat baik untuk kerangka rumah dan perabotan. Sehingga harganya sangat mahal. Keunikan pohon jati, bila ditebang maka pangkalnya tidak akan bersemi lagi dan mati. Kalau toh pun tumbuh, tidak akan sebesar pohon jati awalnya. Tinggi tidak lebih dari dua meter dan diameter kayunya pun hanya selebar telapak tangan.
Dalam budaya Jawa pohon jarak melambangkan rakyat jelata dan pohon jati melambangkan raja, pemimpin, atau kalangan bangsawan.
Makna dari 'tunggak jarak mrajak tunggak jati mati' bahwa kalangan rakyat jelata akan mudah tumbuh dan berkembang sekali pun ditekan dan dipangkas dan sebaliknya para pemimpin dan bangsawan akan mudah hancur jika mengalami tekanan.
Banyak kisah hancurnya para pemimpin dunia dan di negeri kita sendiri, termasuk para pemimpin parpol bahkan pengusaha yang berusaha membangun kerajaan dan kekuasaannya justru hancur dan mati.
Mulai dari jaman Firaun pada keemasan dan kejayaan Mesir hingga Shah Reza Pahlevi di Iran. Mulai dari Ken Angrok hingga penguasa Orde Baru. Semua runtuh secara tragis. Kisah Maha Bharata pun mengingatkan kita.
Dinamika kehidupan politik dan kekuasaan di negeri kita pada masa kini juga menggambarkan seperti ini. Ada pemimpin parpol yang pernah berkuasa di kursi R1 merasa sangat kuat dan mempunyai keinginan untuk melanjutkan kekuasaanya pada anak keturunannya.
Ada juga anak keturunan seorang pemimpin yang ingin tetap kuat seperti orangtuanya. Hidup di bawah bayang-bayang kekuasaan yang ingin terus dipertahankan walau seharusnya dipahami bukan miliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H