Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Candik Ala

21 Oktober 2022   10:50 Diperbarui: 21 Oktober 2022   10:51 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rindit lakuku kaya aburing kuntul kang bali menyang pucuking trembesi.

Rasa adhem dakrasa saturute galengan garing ing pungkasane ketiga.

Bang-bang kulon semburat nalikane bagaskara surup wayah sandyakalaning rina.

Sepining bulak andadekake endahing swasana panggonku biyen macul sawah sakedok ngancani Simbok makarya ngupaya upa.

Sang bagaskara saya angslup kaya kekarepanku anggarap palemahan kang sirna dadi padukuhan.

Ora ana maneh tetesing kringet sakliyane luh tanda getun ilange endahing desaku.

Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.

Terjemahan: bahasa Indonesia.

Sandya Kala

Pelan langkahku seperti terbangnya bangau saat pulang menuju pucuk pohon trembesi.

Terasa begitu dingin di telapak kaki kala menyusuri pematang sawah di ujung kemarau.

Semburat merah menghampar di ufuk barat kala mentari tenggelam di senja hari.

Sepinya hamparan sawah semakin menambah indahnya tempatku dulu mencangkul sepetak sawah menemani Emak mencari sesuap nasi.

Mentari semakin tenggelam seperti keinginanku mengolah lahan yang segera sirna menjadi pemukiman.

Tak ada lagi tetesan keringat selain air mata menyesali hilangnya indahnya desa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun