Ketika Stadion Utama Senayan Membara Tapi Tidak Terbakar
Pada era 70 hingga 80an bisa mengantar klub sepakbola perserikatan daerahnya masuk dalam Divisi Utama PSSI apalagi menjadi juara mempunyai nilai tersendiri bagi kepala daerah. Terlepas pembangunan dan pertumbuhan perekonomian di daerahnya masih tertinggal.
Sepakbola yang merupakan olahraga masyarakat bisa dijadikan candu untuk melepaskan diri dan melupakan dari himpitan kehidupan yang menyesakkan serta kehidupan politik yang otoriter. Apalagi saat itu olahraga juga didanai dari SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) yang merupakan judi legal yang diadakan pemerintah.
Mencari pelatih hebat dan pemain berbakat sudah pasti. Main kasar bila perlu. Main dukun tidak dilupakan. Main suap pastilah. Main mata jangan ditinggalkan.
Main mata yang paling heboh ini terjadi pada semifinal Divisi Utama Perserikatan pada 1985 di Stadion Utama Senayan, Jakarta.
Kala itu Persib dengan pemain-pemain hebat seperti Adjat Sudrajat, Robi Darwis, Iwan Sunarya, dan Dede Iskandar serta di bawah kepemimpinan Jendral Solihin GP merasa keder menghadapi salah satu perserikatan dari mutiara timur, Perseman Manokwari. Â
Perseman Manokwari yang bermain dengan gaya keras rupanya menakutkan bagi kubu Persib yang bertabur bintang. Takut dibabat dalam semifinal yang menengangkan, sang jendral pun mendekati Mayor Tahalutu, asisten menejer Perseman, Manokwari.
Mayor sudah pasti di bawah jendral dan harus patuh. Maka terjadilah ikrar bersama untuk tidak bermain keras. Hasilnya, para pemain Perseman bagaikan macan tua yang ompong. Serba salah dalam bermain. Akibatnya kalah telak 4-1 dari Persib, Bandung. Â
Ikrar ini pun menjadi pembicaraan di luar lapangan. Kubu Persib dianggap melakukan kecurangan terselubung. Di luar dugaan, para pendukung Persib di luar Bandung dan Jawa Barat berbalik dan menjadi pendukung PSMS Medan yang juga lolos ke final.