Hampir selama lima hari setiap sepekan dalam dua bulan ini saya gowes menikmati gerahnya cuaca Daerah Istimewa Yogyakarta. Mulai dari Bantul, Sleman, pusat kota Yogyakarta.
Di antara indah dan menariknya ada hal-hal sepele yang perlu dibenahi karena sangat berpengaruh pada pandangan mata dan ketidaknyamanan bagi wisatawan.
Sebelum bicara hal-hal sepele yang mengganggu, kita beri acungan dua jempol pada hal-hal yang baik di Yogyakarta.
Pertama, sebagai kota besar dengan banyaknya tempat wisata, macetnya jalan raya adalah hal lumrah dan terus dibenahi. Tetapi pemakai jalan harus diakui cukup patuh sehingga kemacetan tidak semakin membuat gerah.
Penataan ulang Malioboro membuat nyaman para wisatawan. Ditambah lagi senyum, sapa, dan salam dari Pasukan Bregodo yang familiar menyediakan diri untuk berfoto.Â
Tentu masih banyak lagi yang menawan.
Hal-hal sepele di antaranya:
Pertama, adanya pengamen yang berpakaian layaknya seorang wisatawan atau pemuda dengan pakaian rapi tetapi mengamen dengan alat musik ecek-ecek yang terbuat dari tutup botol kecap. Cara mengamennya pun sangat mengganggu. Berdiri di depan wisatawan yang duduk dengan jarak tak lebih dari 50cm saja. Tidak bernyanyi, hanya menggoyangkan ecek-eceknya. Tidak diberi uang tetap saja tidak segera pergi. Sungguh ini mengganggu privasi wisatawan. Hanya saja ketika saya memotonya, si wisatawan mancanegara tersebut keberatan untuk di-posting.
Kedua adanya pengemis terselubung.
Sama seperti pengamen demikian juga kehadiran pengemis yang menyodorkan kaleng setengah menodongkan di depan wisatawan yang duduk-duduk di bangku.Â
Jika pengayuh becak dan pedagang K5 termasuk yang dilakukan para wanita muda dengan sopan berkeliling menawarkan minuman demikian tertib tentu pengamen dan pengemis ini bisa ditertibkan.
Berdasarkan pengamatan penulis mendengar logat mereka, tampaknya mereka bukan warga DIY.
Ketiga tentang keamanan.Â
Sepanjang hari petugas kebersihan di Malioboro bertugas dengan baik. Malioboro pun seperti batu permata yang indah. Tapi tidak selalu bersinar.Â
Beberapa toko pada saat ini sedang direnovasi. Sungguh sangat disayangkan tidak ada jaring pengaman atau paling tidak tali pengaman agar tidak dilewati untuk menghindari kecelakaan sekecil apa pun bagi pengunjung. Misalnya, ada pecahan asbes atau plesteran lapuk yang jatuh dari sebuah gedung di sebelah barat deretan tengah. Nama toko tidak saya sebutkan.
Keempat kebersihan.
Tidak semua wisatawan mancanegara naik becak, motor, atau mobil. Ada juga yang jalan kaki, terutama backpacker, ketika menyusuri perkampungan sekitar Keraton Ngayogyakarta.Â
Misalnya, wisman berjalan kaki melewati  Bangsal Magangan tampak beberapa tumpukan sampah di sebelah tugu persis. Sangat mengganggu pemandangan.
Kelima tentang keasrian dan penghijauan.
Bisakah setiap ruas jalan dihijaukan agar rindang seperti sepanjang jalan dari Krapyak hingga Plengkung Nirbaya Gading?
Dalam setahun ke depan Malioboro mungkin akan asri dengan semakin besarnya pohon asam yang ditanam di kiri dan kanan sepanjang jalan. Sedang di tempat lainnya masih banyak pohon tua yang merana.
Lima hal sepele ini, semoga bisa menjadi perhatian dan segera ditindaklanjuti.Â
Demi Yogyakarta yang indah dan menawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H