Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Mendung di Jogjakarta

11 September 2022   13:26 Diperbarui: 11 September 2022   13:34 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ditemani rinai gerimis semalaman ia duduk di dalam becaknya dengan sebuah harapan ada yang datang meminta diantar.
Harapan hanyalah impian yang datang bersama terkatupnya mata ketika hujan makin deras.
Tak terdengar lagi ketipak kereta kuda dan langkah kaki yang menyusuri Malioboro.
Setetes air dari sela plastik kumuh penutup becak menggugahnya dari sebuah impian yang tak tuntas.
Ingin rasanya kembali melanjutkan impian tetapi perut kosong tak mau mengantarnya tidur hingga kereta api pertama Stasiun Tugu pagi itu mengalunkan bel.
Mendung masih menggantung di langit Jogjakarta menutupi harapan datangnya penumpang.
Kantuk kembali mengajaknya bermimpi ketika mentari masih enggan menampakkan diri.
Sebuah tulisan 'Mboten Pareng Lenggah Mriki' dan beberapa petugas ketertiban membuatnya tahu diri.
Hanya di pojok sebuah prasasti ia bisa membangun impian yang tak lama dan tak pernah berlanjut.
Pojok tembok tak pernah melelapkan. Impiannya selalu kandas di ujung jalan Malioboro.

Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun