Menyiasati Kenaikan BBMÂ
Sejak dulu kenaikan BBM selalu membuat gaduh. Mulai dari mahasiswa atau siapa pun yang merasa dirinya pembela kaum kecil eh wong cilik.Â
Berbagai alasan dan argumen pun dicuatkan dan cuitkan di media massa apalagi media sosial. Padahal kaum kecil seperti burung pipit yang kecil tak mencuit-cuit walau padi muda yang gurih ditutup jaring sehingga mereka tidak bisa menikmati.Â
Bagi mereka terus terbang mencari makan biar tetap hidup. Tak ada padi ya mencari biji-biji rumput yang tumbuh di pematang. Bila beruntung menemukan rontokan padi yang jatuh di sekitar sawah.Â
Seperti halnya para pedagang cilok, bakso, sayur, sate, dawet, atau es keliling. Hujan panas terus keliling menjemput pembeli. Ada yang beli disyukuri. Belum ada yang beli ya terus keliling sambil berteriak-teriak kecil 'es...es...', atau 'dawet... dawet' sesuai yang mereka jual.Â
Tak pernah teriak-teriak 'turunkan BBM...' Apalagi 'turunkan Jokowi!'Â
Mereka punya kiat tersendiri dalam menghadapi kenaikan BBM. Bukan menaikkan harga jual dagangannya yang membuat konsumen lari. Tetap saja harganya tetapi volumenya yang sedikit dikurangi.Â
Misalnya, semangkuk dawet atau es biasanya berisi 8 ciduk sekarang cuma 7 ciduk. Atau santan satu liter untuk satu panci es sekarang 0,8 liter untuk satu panci. Penjual sayur biasanya satu ikat berisi 3 batang besar sekarang menjual 2 batang besar dan 1 batang kecil. Kiat ini bukanlah menipu tapi mengimbangi kenaikan BBM.Â
Bagaimana dengan kita? Tirulah para pedagang keliling. Harus mengurangi pemakaian BBM dengan lebih banyak jalan kaki.Â
Misalnya:Â