Banyak cara seseorang mengeskpresikan kegundahan isi hatinya melihat situasi lingkungannya. Manusia yang abai sesamanya. Penindasan atas hak dan harkat. Pejabat yang korup. Kerusakan lingkungan oleh manusia.
Pada masa perjuangan, ada yang mendirikan sekolah. Mendirikan partai dan organisasi perjuangan.Â
Ada yang teriak merdeka lalu maju berjuang melawan penjajah walau hanya berbekal bamboo runcing. Ada yang teriak-teriak dengan demo atau rapat akbar terbuka di lapangan. Ada yang menulis grafiti. Ada yang menulis novel dan puisi.
Demikian juga pada peristiwa G.30S, Malari, Krisis Moneter 1997, Kudatuli 1997, runtuhnya Rezim Orba 1998, kenaikan BBM, penegakan hukum dan pelanggaran HAM, kasus tanah dan penggusuran, masalah lingkungan hidup, dan banyak lagi.
Pada masa kini, beberapa kali demonstrasi mahasiswa atau yang dilakukan sebuah komunitas masih terjadi walau sebagian masyarakat menilai bahwa yang mereka lakukan tidak murni dari hati nurani.Â
Ada yang menganggap mereka adalah pasukan nasi bungkus yang dibayar oleh pasukan sakit hati. Bahkan ada yang menganggap sekedar nampang.Â
Dan yang lebih miris agar diperhatikan oleh mereka yang ingin mendapat kekuasaan lalu direkrut menjadi anggota sebuah parpol.
Tak semua komunitas mengungkapkan suka demo karena membuang waktu dan tenaga. Terutama mengganggu ketertitaban lalu lintas dan masyarakat umum. Apalagi merusak fasilitas umum. Hanya menciptakan kegaduhan belaka.
Seperti halnya Chairil Anwar, mengungkapkan isi hatinya. Pemberontakannya dengan berpuisi. Beberapa komunitas menulis pesan dan berpuisi dengan mural.Â
Mereka berteriak tanpa suara. Mereka berpuisi tanpa berkata-kata. Biarlah aksara tertulis pada tembok-tembok kosong yang kelak berbicara pada mereka yang bukan sekedar membaca tetapi mendengar dengan telinga hati. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H