Setahun sudah setapak yang teduh dengan lambaian daun kelapa tak pernah kulewati.
Kali ini desiran angin senja  memanggilku untuk menghilangkan kerinduan menyusuri kenangan yang terpatri di hati ini.
Masih terngiang suara sengau dari bapak yang menahan kejengkelan.
"Berangkatlah kalau itu niatmu...," katanya tanpa melihatku.
Hanya sampai di depan pintu, Emak mengantarku tanpa senyuman selain tenggorokan yang menahan tangis dalam hati.
Kamar sempit pengap di perkampungan kota yang hiruk pikuk dengan riuhnya lalu lalang motor bukanlah gubuk di tengah persawahan yang hening dengan kicauan serak kruwok di pinggir parit.
Setahun kususuri jalanan kota ini yang hanya menawarkan impian yang jauh dari merdunya gemercik pancuran bambu tempat aku mandi bersama teman selesai mencari kayu bakar.
Berat langkahku memasuki pekarangan depan rumah yang rindang oleh rimbunnya pohon kelengkeng yang mulai berbunga.
Di depan pawon, Emak bersama Bapak masih menghangatkan diri dari dinginnya bediding.
Seulas senyuman indah terukir di wajahnya yang keriput.
"Syukurlah kau datang. Besok kita panen jagung," kata Bapak sambil menyodorkan segelas kopi hangat yang belum diseruputnya.
Pipinya yang makin kempong menggambarkan perjuangan hidup yang harus kulanjutkan di tanah leluhur yang pernah sejenak kutinggalkan.
Catatan:Â
Bediding: udara yang dingin di musim pancaroba dari musim hujan ke kemarau. Biasanya antara Juli hingga pertengahan September.
Kruwok: sejenis ayam liar bertubuh kecil dengan suara parau. Habitatnya sekitar rumpun bambu dan semak belukar pinggir sungai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H