Akhir April 2019, cuaca Jogjakarta demikian cerah tetapi di seluruh tubuh terasa begitu gerah. Apalagi setelah terjebak kemacetan antara Berbah, Sleman hingga Bantul maka niat bertemu dengan salah seorang Kompasianer Bantul pun gagal.
Jarum jam sudah menunjukkan 18.30 ketika saya menelepon seorang Kompasianer Jogja lainnya. Suara mantap di kejauhan terdengar jelas, "Iya saya tunggu Mas, sudah longgar nih..."
Tak ada 30 menit dari Goa Selarong, Bantul dengan gojek saya sudah sampai di Kota Gede, Jogjakarta.
Di depan sebuah masjid, seorang pria tinggi besar daripada diri saya menyambut dengan senyum ramah. Siapa lagi kalau bukan Mas Djati Kumoro. Seorang Kompasianer murah senyum, humoris, ceriah, gesit, dan familiar.Â
Kami saling salaman lalu berjalan bersama menyusuri lorong panjang menuju rumahnya.
Di depan rumahnya, sang istri dan putrinya yang masih duduk di SMK menyambut penuh ramah. Tampak mereka masih sibuk atas usaha UMKM yang digelutinya.
Tak banyak pembicaraan resmi selain atas kesenangan kami bersama akan budaya dan sejarah Jawa serta hal-hal yang oleh orang lain disebut klenik. Termasuk tentang keris dan makam leluhur.
Pembicaraan juga sedikit menyentil tentang para Kompasianer yang hebat serta kegayengannya dalam komunikasi walau hanya lewat komen. Selain itu, Mas Djati juga merasa senang mempunyai teman, boleh jadi sahabat, seorang Kompasianer sederhana, yakni Mas Baim Saptaman. Di mana Mas Baim S pernah membantu mengantar ke rumah sakit ketika Mas Djati harus kontrol kesehatan.
Terkesima akan kesederhanaannya dan penguasaan atas materi tulisannya di Kompasiana, kali ini saya betul-betul menjadi pendengar yang cukup setia. Tak banyak yang saya utarakan selain berharap suatu saat bisa berbincang bersama Anhuss, Mas JM, Ustad Gaza, Bain Saptaman, dan Elde serta beberapa Kompasianer humoris bin ndableg lainnya.
Niat tinggal rencana, keinginan saya dan Mas Djati jalan-jalan di hutan rakyat sekitar Goa Selarong untuk mencari jambu kluthuk dan ciplukan kandas gegara pandemi Covid-19.
Selama dua tahun terakhir memang berkali-kali saya menetap di Gowasari, Bantul namun demi kesehatan  bersama dan menjalankan protokol kesehatan kami tidak bisa bertemu.
Tiga bulan lalu saya sempat kirim pesan lewat WA untuk bertemu dan meminta menulis lagi tentang sejarah.
Jawaban mengejutkan, 'sudah enggan menulis lagi karena tulisannya di-copypaste mentah-mentah oleh penulis lain'.
Niat bertemu lagi di akhir Mei ini seiring melandainya pandemi ternyata sirna.
Mas Djati telah mendahului kita. Tak ada yang bisa saya katakan lagi selain berdoa: Semoga Mas Djati hidup berbahagia di surga dan keluarganya senantiasa dalam lindungan Allah SWT. Amin
Selamat jalan Mas Djati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H