Mudik bersama hanya bisa dilakukan setahun sekali, pada hari lebaran.Â
Di luar lebaran pulang kampung biasanya lebih bersifat insidental karena ada acara khusus misalnya perkawinan atau khitanan salah satu kerabat, atau ada yang sakit dan berduka. Itu pun biasanya hanya sejenak tanpa bersama keluarga.
Maka kesempatan berkumpul bersama seluruh keluarga dan handai taulan saat lebaran harus dilakukan. Seberapa jauh pun kampung halaman dan sebesar apa pun beaya yang harus dikeluarkan.
Amir yang telah meninggalkan desanya sejak sepuluh tahun silam untuk bekerja sebagai teknisi motor di kota besar yang jauh mau tak mau harus mudik.
Demikian juga, Rima istri Amir yang ikut Amir merantau dan kini bekerja sebagai karyawati sebuah toko ritel. Juga harus mudik ke desanya yang terletak sekota dengan Amir tapi berjauhan.
Bergaji jutaan tampaknya begitu besar namun belumlah mencukupi untuk hidup layak di kota besar apalagi harus mencicil kredit rumah sebesar separuh gaji mereka berdua.
Mudik memakai pesawat terbang, kereta api, bahkan bis malam eksekutif terlalu mahal ongkosnya karena jarak pemberhentian terakhir ke rumah lebih dari 60 km.Â
Mau tak mau harus naik kendaraan umum lagi yang belum tentu ada. Naik ojek jelas tidak mungkin karena membawa perbekalan dan pakaian sekeluarga. Juga membawa oleh-oleh untuk orangtua dan mertuanya.
Diputuskannya menyewa minibus dan dikemudikan sendiri selama dua hari dua malam hanya untuk perjalanan berangkat. Artinya paling tidak menyewa seminggu selama mudik.
Selama di tanah rantau yang setiap hari harus memakai seragam kerja dan hanya pakaian sederhana saat di rumah, maka saat berada di kampung halaman berpakaian sedikit berbeda.
Kisah lain, Tono dan Tini yang merantau tak begitu jauh dari kampung halamannya harus mudik dengan naik sepeda motor saja.Â
Memang ada kendaraan umum tetapi harus oper tiga kali. Cukup memakan waktu dan biaya.
Sepeda motornya model terbaru yang diperoleh dari kredit 48 bulan penuh muatan bekal dan oleh-oleh selain harus dinaiki empat orang. Tono, Tini, dan Toni anaknya pertama serta Tino yang masih balita.
Jalan perdesaan sejauh 100an kilometer harus ditempuh hati-hati. Kadang melewati jalanan kering berbatu, hutan jati yang sepi tanpa tempat layak untuk sekedar meluruskan punggung istrinya yang menggendong si bungsu.
Dua keluarga di atas adalah gambaran masyarakat urban yang tak mungkin melupakan kampung halaman. Hidup dalam kekerabatan yang kental. Kesempatan mudik harus dijalani apa dan bagaimanapun caranya.
Ketika sampai di rumah, bisa jadi Amir tidak bisa memarkir mobil di halamannya yang sempit. Terpaksa harus memarkir di halaman rumah orangtua Tono yang cukup luas.
Memarkir di pinggir jalan dusun yang tidak terlalu lebar bisa mengganggu perjalanan orang lain dan dianggap mentang-mentang punya mobil.
Hidup masyarakat perdesaan memang penuh kesederhanaan. Saling menghargai dengan tepa selira yang tinggi. Di sinilah kekerabatan dan persaudaraan selalu terjaga. Jauh dari rasa lebih berhasil dalam pekerjaan atau ekonomi.
Amir bukan pamer pada Tono, sebaliknya Tono tak menolak kehadiran mobil Amir.
Pada hari lebaran keluarga bersilaturahmi penuh kegembiraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H