Sebelum pandemi Covid-19 menyerbu, saya masih beberapa kali menonton pertunjukan seni drama modern atau seni teater yang diadakan oleh mahasiswa sastra Universitas Negeri Malang atau UM.
Seperti biasa, geliat seni teater masih didominasi para mahasiswa termasuk penontonnya. Hanya saja apresiasi penonton yang notabene 95% merupakan para mahasiswa masih kurang greget di mana selama pertunjukan banyak yang sibuk dengan hapenya.
Di luar kampus, seni teater modern boleh dikatakan tidak bergerak sama sekali. Bahkan secara nasional masih menyisakan satu nama beken: Teater Koma. Teater Gandrik dan Teater Bengkel entah bagaimana kabarnya.
Di daerah, seni teater masih didominasi oleh sanggar-sanggar seni tradisional dan beberapa padepokan yang berusaha tampil modern dengan tata lampu dan dekorasi serta dialog yang komunikatif dengan penonton.Â
Kisahnya  masih berkisar pada mitologi kehidupan masyarakat masa lalu. Seperti Ande-ande Lumut, Nawang Wulan dan Jaka Tarub, Calon Arang, Roro Jonggrang, Roro Mendut  dan pahlawan-pahlawan daerah.
Inilah perbedaan seni teater tradisional dengan seni teater modern yang banyak mengambil dari mitologi Yunani atau drama karya-karya sastrawan Eropa, seperti Hamlet, Romeo dan Juliet.