Kehidupan anak dan remaja perdesaan yang masih terikat dengan budaya lokal merupakan kekayaan budaya nasional. Bahwa ada sebagian yang mulai mengenal dunia maya tak bisa dipungkiri tetapi budaya tradisional tidak pernah lepas sama sekali.
Minggu pagi tadi, di salah satu sudut Dusun Bendo Lawang, Desa Ngadirejo Kecamatan Jabung Malang yang ada di barat daya lereng Gunung Bromo tampak sekelompok anak laki-laki sedang bermain caplokan dan jaranan atau kuda kepang.
Kuda kepang atau jaran kepang memang seni budaya rakyat yang menyebar hampir di seluruh tanah Jawa bahkan sudah menyebar hingga luar Jawa yang dibawa oleh para pengembara.
Bedanya, untuk wilayah Malang Raya yang meliputi Malang kota dan kabupaten serta Batu, seni jaranan ada bagian seni yang disebut caplokan.Â
Caplokan semacam patung kayu berupa kepala naga yang meringis dengan kepala melotot.
Caplokan kepala naga ini dipegang oleh seorang pemain yang menari serta menghentak-hentakkan untuk membuka mulut naga dengan tangannya sehingga mengeluarkan bunyi plak... plak... plak... plak...plak... plak...
Bukaan mulut naga ini mengisahkan akan menelan siapa pun yang berbuat jahat. Maka dari itu ketika ada penonton yang bersiul dianggap sebagaiÂ
orang yang suka menggoda atau berbuat tidak menyenangkan sehingga dikejar oleh caplokan. Hanya saja pemain caplokan tidak berlari cepat sebab badannya diikat tali oleh pemain lain agar tidak lari terlalu jauh.
Hasrat mengejar penggoda namun dikendalikan oleh pemain lain inilah yang menekan kesadaran pemain caplokan sehingga menjadi kalap.
Tarik menarik antara pemain caplokan dan pemain yang memegang kendali serta iringan kendang yang dinamis membahana untuk menari membuat pemain caplokan kehabisan tenaga lalu lunglai di arena. Tepatnya di depan sang dukun jaran kepang.
Ketika suara kendang mulai melemah pemain yang kalap mulai sadar diri. Selanjutnya diganti oleh anak lain untuk bermain kuda lumping dan caplokan.
Untuk penabuh kendang dan sang dukun kecil biasanya tidak selalu bergantian. Hanya yang tampak karismatik serta dianggap sudah punya ilmu yang bisa melakukan.
Hal yang membanggakan, anak-anak ini berlatih tanpa didampingi oleh seniornya, para pemuda atau kaum tua.
Berlatih selama tiga jam di tengah jalan dusun sungguh melelahkan. Namun mereka begitu gembira.
Para pengguna jalan pun yang kebanyakan warga setempat merasa tidak terganggu. Ketika mengetahui ada sepeda motor lewat maka para pemain akan minggir. Sebaliknya pemotor pun melambatkan lajunya. Kecuali mobil wajib memutar haluan lewat jalur lain.
Jam sebelas siang para seniman kecil dari kelompok Seni Jaran Kepang: Turangga Seta Budaya menghentikan latihannya.
Ada yang mengembalikan perlengkapan, ada yang membersihkan jalan, ada yang membongkar panggung kecil nan sederhana. Beberapa anak putri yang hanya jadi penonton ikut membersihkan panggung terbuka jalanan.
Begitu selesai langsung kembali ke rumah masing-masing untuk menikmati makanan siang atau jajan yang disediakan emak mereka.
Saat latihan tidak ada jamuan sama sekali. Bahkan sekedar minum.
Sekitar sembilan kilometer sebelah barat dari Dusun Bendo Lawang tepatnya di Desa Kenongo ada juga panggung terbuka yang baru saja selesai mengadakan pertunjukan jaran kepang dan caplokan. Seperti juga di Desa Ngadirejo seni jaranan ini juga menampilkan anak-anak perdesaan setempat.
Penampilan penuh semangat dari seniman budaya lokal di amphitheater terbuka gaya lokal yang menghibur dan menjaga kelestarian budaya lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H