Perang Dunia I dan II, serta perang saudara Korea Selatan dan Utara, India dan Pakistan, Vietnam Utara dan Selatan, Syria, Libya, Afghanistan, Kamboja, Sudan, bahkan perang sipil di Maluku selalu menimbulkan korban sipil yang seharusnya tidak boleh terjadi.
Demikian juga, invasi militer Rusia ke Ukraina yang sebagian negara menyebut bukan perang juga menimbulkan korban sipil yang tak berdosa. Ribuan pengungsi tak terhindar membanjiri negara tetangga Ukraina.
Lelah, sakit, lapar, depresi, dan putus asa tentu mendera mereka.
Penderitaan mereka memang tak lagi membanjiri media demi penghormatan atas nilai-nilai kemanusiaan.
Tidak seperti perang Vietnam, Kamboja, dan Perang Dunia para korban demikian diumbar demi memancing empati justru menempatkan mereka pada titik nadir penderitaan.
Dalam perang modern, penempatan senjata sudah jauh dari pemukiman masyarakat sipil sehingga senjata selalu diarahkan ke basis-basis militer. Toh perang kota antar pasukan yang berhadapan secara langsung tetap terjadi.
Serbuan terhadap pemukiman dan menimbulkan korban sipil pun tak terelakkan.
Bisakah korban sipil dihindari dalam sebuah peperangan?
Para pemimpin negara termasuk pemimpin militer seharusnya belajar pada perang saudara keluarga Barata, antara Pandawa dan Barata.
Setelah bertahun-tahun melakukan perundingan dan diplomasi dengan bantuan negara tetangga, seperti Wirata, Dwaraka, Mandura, Mandaraka dan mengalami jalan buntu akhirnya perang tak terhindarkan.
Demikian juga, diplomasi lewat para tokoh seperti Kresna, Bisma, dan Baladewa atau yang lain tetap saja mengalami jalan buntu.
Jalan buntu terjadi sebab setiap diplomat mempunyai kepentingan pribadi dan negerinya sendiri. Tidak ada yang netral.
Hanya satu orang yang netral, yakni Baladewa namun terlalu pasif dan percaya sepenuhnya pada saudaranya sendiri yakni Sri Kresna.
Sri Kresna oleh kebanyakan orang dianggap bijaksana toh menjadi penipu ulung untuk mengalahkan Kurawa.
Perang yang tidak diharapkan harus terjadi. Namun ada sebuah kebijaksanaan yang patut ditiru yakni perang tidak boleh terjadi di wilayah masyarakat sipil. Perang harus di wilayah terbuka yang disebut Kurusetra, yang artinya tempat kuburan. Sebuah nama yang mengerikan untuk menghindari pertumpahan darah.
Di Kurusetra, korban sipil memang terhindarkan tetapi akibat perang masyarakat sipil tetap menjadi korba. Yatim piatu dan janda adalah korban tak langsung dari gugurnya para wadyabala Pandawa dan Kurawa.
Selama ini, masih banyak orang menganggap bahwa kisah Mahabharata hanyalah mitologi belaka. Padahal bukti empiris di India membuktikan bahwa ini nyata.
Terlepas dari semua itu, perang sebaiknya dan seharusnya tidak memasuki wilayah sipil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H