Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wujudkan Tanda Cinta Seni dan Budaya Daerah sebagai Bagian dari Budaya Nasional

18 Februari 2022   15:14 Diperbarui: 19 Februari 2022   07:03 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika seorang uztad mengatakan wayang itu haram maka hebohlah sebagian besar masyarakat pecinta wayang. Aneka pendapat pun bermunculan. Mulai dari tukang becak yang juga seorang panjak (penabuh gamelan) hingga seorang tokoh masyarakat.

Peristiwa ini mirip seperti pernyataan dari negeri jiran yang mengakui reog sebagai budaya Malaysia.

Merasa dibidik banyak orang si uztad pun katanya mohon maaf. Bagi penulis, mohon maaf atau tidak, apa yang diucapkan bahwa wayang itu haram sudah tersampaikan secara terbuka. Dan banyak orang yang setuju.

Bagi mereka yang tidak pernah menggeluti dunia perwayangan tentu tidak merasakan hal ini. Bagi seniman, budayawan, atau paling tidak pemerhati tentu sudah merasakan.

Penulis mempunyai beberapa koleksi wayang hasil pemberian beberapa orang yang banting setir dengan menganggap wayang itu bukan ajaran agamanya.

Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.

Ketika Kompasiana mengadakan Indonesia Community Day II pada 2018, penulis pun memancing para penonton dengan menampilkan dua tokoh Ramayana yakni Hanoman dan Kumbakarno. Dari puluhan pengunjung yang tertarik menanyakan tentang wayang hanya dua orang, seorang remaja dan reporter.

Demikian juga puluhan postingan penulis tentang wayang di Kompasiana walau Artikel Utama ternyata kurang menarik pembaca. Artinya?

Beberapa hari yang lalu, penulis posting kisah Gatotkaca Bunuh Diri. Beberapa jam kemudian ada sekitar dua puluh WA menanyakan kebenaran kisah tersebut.

"Jangan ngawur Mbah!" Salah satu bunyi WA tersebut. Pernyataan ini menandakan rasa cintanya pada wayang.

Seperti yang penulis terangkan dalam catatan di bawah postingan, dalam dunia perwayangan antara wayang India dan Nusantara memang beda. Dalam wayang Jawa ada kisah-kisah carangan atau yang ditulis sesuai dengan kebudayaan Jawa. Salah satunya adalah kisah Gatotkaca Gandrung menceritakan romantisme seorang pemuda gagah perkasa namun ternyata begitu lemah ketika sedang jatuh cinta. Bahkan sampai bunuhdiri. Kisah carangan ini terkenal dengan sebutanp Gatotkaca Gandrung artinya Gatotkaca kasmaran.

Kisah matinya Gatotkaca karena bunuh diri inilah yang membuat pembaca Kompasiana menjadi bingung. Sebab yang mereka tahu Gatotkaca mati di tangan Karna. Jadi kisah mana yang benar? Keduanya sama-sama benar.

Matinya Gatotkaca bunuh diri sungguh menyentak pihak Pandawa. Maka Kresna yang mempunyai kesaktian lalu menghidupkan kembali satria Pringgadani ini supaya bisa menjadi prajurit yang ikut bertempur dalam perang Barata Yudha.

Bagi pecinta wayang yang hanya mengetahui kisahnya lewat tayangan televisi yang dikisahkan berdasarkan Mahabarata versi India tentu tidak mengetahui hal ini.

Kitab Mahabharata versi India (kiri) dan Mahabharata dalam versi komik Indonesia (kanan). Dokumen pribadi
Kitab Mahabharata versi India (kiri) dan Mahabharata dalam versi komik Indonesia (kanan). Dokumen pribadi

Penampilan seorang dalang (Dokpri)
Penampilan seorang dalang (Dokpri)

Inilah tantangan bagi pecinta budaya nasional untuk ikut ambil bagian dalam mempertahankan kebudayaan daerah.

Menonton wayang kulit semalam suntuk memang berat bagi kebanyakan orang. Tentu ini bisa direkadaya dengan menonton pagelaran wayang kulit di YouTube. Bagi yang tidak senang menonton YouTube bisa juga dengan cara membaca komik-komik kisah pewayangan yang bisa dibeli di toko buku terkemuka. Atau jika dianggap terlalu mahal bisa meminjam di perpustakaan kota.

Budaya daerah sebagai bagian dari budaya nasional bukan hanya menjadi tanggungjawab seniman dan budayawan yang penghasilannya pas-pasan.

Seniman, budayawan, dan pemerhati sering berjuang sendirian dalam mempertahankan kebudayaan daerah. Mencari sponsor sangat sulit. Alasannya cukup klise. Pagelaran kesenian daerah sulit menjaring penonton.

Jika ada bantuan dari seorang tokoh masyarakat atau pun partai sering memberi pas-pasan. Menyumbang sekian ratus ribu ketika hadir nonton pagelaran membawa pengikut sekian puluh orang. Habislah untuk konsumsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun