Gemercik air  yang mengucur dari mata air ini terasa menenangkan hati. Airnya yang bening dan segar juga terasa menghilangkan penat kaki setelah berkeliling menyusuri beberapa patirtan peninggalan Singasari.
Patirtan merupakan mata air suci tempat mandi dan berendam para istri dan putri raja pada masa silam.
Patirtan berasal dari kata tirta yang artinya air. Mendapat awalan pa dan akhiran an menjadi patirtan berarti tempat mandi. Namun patirtan lebih berarti tempat mandi kaum brahmana dan ksatria.
Patirtan yang saya kunjungi kali ini adalah Patirtan Watu Gede, Singosari Malang. Disebut Watu Gede karena berada di Desa Watu Gede, Singosari Malang.
Desa ini disebut Watu Gede karena di salah satu sudutnya ada watu gede atau batu yang sangat besar. Kemungkinan batu besar ini berasal dari letusan gunung terutama Gunung Arjuno yang tampak hilang ujung puncaknya. Gunung Arjuno berada tak jauh atau hanya sekitar 8 km dari Desa Watu Gede.
Berdasarkan Serat Pararaton, patirtan ini merupakan tempat mandi dan berendam Ken Dedes saat menjadi istri Tunggul Ametung. Saat itu Desa Watu Gede masih merupakan hutan yang bernama Baboji.
Kala masih gadis, Ken Dedes mandinya di sebuah mata air di pinggir Desa Panawijen (sekarang Polowijen), Malang yang merupakan kampung halamannya.
Mata air ini sekarang berada di tengah permukiman penduduk dan sulit mendapat foto yang baik. Hanya sisa-sisa airnya yang bisa difoto dan berada di pinggir sebuah perumahan kelas atas.
Menilik berdirinya Kerajaan Singosari pada tahun 1222, maka Patirtan Watu Gede ini berumur lebih dari delapan ratus tahun. Bahkan lebih, sebab mata air tentunya sudah ada sebelum dijadikan patirtan oleh Tunggul Ametung.
Setelah sekian ratus tahun terpendam, patirtan ini ditemukan Belanda pada tahun 1925. Kemudian diadakan penggalian pada tahun 1931.