Tahun 2008 saya ke Jakarta sendirian pertama kali. Begitu saya keluar dari stasiun Jatinegara, kagetnya setengah mati sebab tertulis di situ Jl. Bekasi.Â
Dalam hati bertanya ini Jatinegara atau Bekasi. Maklum orang desa yang kuper.
Lalu seorang tukang becak mendekati dan bertanya, "Mau diantar kemana Bang?"
Spontan saya menjawab sebuah alamat kantor dengan menggunakan bahasa Jawa krama madya.
Kaget mendengar jawaban saya, ia langsung mendekati dan berbisik, "Waduh Mas, aja basa Jawa ndik kene akeh preman!" (Waduh Mas, jangan berbahasa Jawa di sini banyak preman!).
Kembali saya menjawab spontan tetap dalam bahasa Jawa, "Hla apa hubungane?" (Hla apa hubungannya?"
Masih dalam keadaan agak bingung, saya setengah didorong si tukang becak untuk segera naik.
"Sudahlah Bang terserah mau bayar berapa."
Seperti terhipnotis saya manut saja dan berpikir 'jangan-jangan dia preman juga'.
Sepanjang perjalanan yang hiruk pikuk dan macet walau tak jauh ia banyak bercerita dalam bahasa Jawa tentang kerasnya kehidupan Jakarta. Termasuk nakalnya preman jalanan jika melihat ada orang udik.
Selama sepekan di Jakarta untuk mengikuti sebuah seminar, hampir setiap sore si tukang becak yang berasal dari Ngawi ini, menemani saya sekedar jalan-jalan di sekitar Jakarta Timur.Â
Lebih sering kami hanya duduk-duduk di warung pinggir jalan sambil mendengarkan kisah hidupnya terdampar di Jakarta.
Dalam perbincangan, kami tetap menggunakan bahasa Jawa. Sehingga cukup menarik perhatian bagi sebagian orang yang memperhatikan kami.