Hingga akhir 70an, saat listrik dan sentolop masih barang langka, obor menjadi alat penerang ketika seseorang berjalan di tempat gelap. Pemakainya biasanya para pedagang yang berangkat ke pasar pada dini hari.
Ada juga yang memakai sebagai penerang saat mencari jamur atau kodok ijo di kebun atau sawah pada malam hari.
Obor biasanya terbuat dari batang daun pepaya atau bambu apus yang mempunyai rongga kecil tempat minyak tanah. Sedang untuk sumbu terbuat dari kain perca atau bekas pakaian.
Karena sudah terbiasa, maka setiap pembawa obor tahu seberapa banyak minyak tanah yang dibutuhkan sepanjang perjalanan.
Jarang sekali ada yang kehabisan minyak tanah sehingga obor mati sebelum sampai di tempat tujuan. Jika kehabisan dalam bahasa Jawa disebut 'kepaten obor' sehingga harus berjalan pelan dan hati-hati karena gelapnya suasana.
Dalam pepatah Jawa "kepaten obor" mempunyai makna yang lebih jauh yakni: terputusnya komunikasi antar anggota keluarga besar.
Hal ini disebabkan adanya anggota keluarga yang hidup di rantau karena pekerjaan atau menikah dengan pasangan dari luar daerah.
Terputusnya komunikasi tanpa diharapkan ini menyebabkan tidak saling mengenal antar kerabat. Hubungan persaudaraan darah daging menjadi gelap seperti padamnya obor saat masih dibutuhkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H