Bagi yang (pernah) tinggal di desa setiap sekitar 5-6 pagi mendengar kicauan burung-burung kecil seperti kacamata, cimblek, encit, pipit, dan manyar adalah hal yang biasa. Pada jam 8-9 pagi yang berkicau berganti lagi burung cendet, kutilang, prenjak, dan jalak sungu dan jalak uret. Menjelang tengah hari biasa burung tekukur, perkutut, puter, dan kadang srigunting, kepodang, dan gagak.
Sore hari hampir semua burung yang saya sebut di atas kembali mereka meramai jagad dengan membuat suara riuh (Jawa: pating cruet) di dahan-dahan pohon berebut tempat bertengger dan berteduh untuk tidur malam.
Suara mengasyikkan ini beringan dengan nyanyian serangga malam seperti jangkerik, orong-orong, belalang kayu biasanya di pohon nangka, engkes, serta burung-burung malam seperti bence dan dares ( sejenis burung hantu kecil).
Di dalam rumah biasanya terdengar pula nyanyian lembut jangkerik upa ( Jawa: upa=sebutir nasi), sejenis jangkerik kecil seukuran sebutir nasi. Orang desa menyebut juga jangkerik ceketet.
Namun keadaan ini sudah berubah hampir sembilan puluh derajat akibat perubahan jaman dan gaya hidup manusia yang sedikit banyak menyingkirkan dan meninggalkan suasana alami.
Akhir tahun 70an di mana mulai di bangun komplek-komplek perumahan sederhana, banyak warga yang merindukan suasana desa kembali. Mendengarkan kicauan burung dengan cara memelihara.
Jika pada pertengahan tahun 70an banyak orang memelihara burung tradisional seperti perkutut, tekukur, puter, kepodang, beo, dan kutilang. Maka tahun sesudahnya mulai merambah burung-burung lainnya seperti gelatik, cendet, bahkan manyar dan pipit yang lebih banyak untuk mainan anak-anak.
Untuk mendapatkannya banyak orang yang menjaring di pohon-pohon saat malam hari. Penjaringan ini lebih banyak untuk dijual sekali pun ada alasan lain karena burung-burung kecil ini dianggap sebagai hama padi.
Dalam kurun sepuluh tahun, burung-burung kecil seperti gelatik dan manyar yang pandai berkicau boleh dikatakan musnah. Ribuan burung manyar yang biasanya membuat sarang di daun pohon-pohon kelapa dan palem serta tebu hampir mustahil ditemukan di desa.
Hilangnya burung-burung tersebut bukan karena dijaring tetapi juga akibat perubahan sistem atau  moderenisasi pertanian yang memperpendek usia tanam padi dan pemakaian pestisida besar-besaran saat revolusi hijau.
Bila sebelum revolusi hijau banyak petani menanam jenis padi bengawan, cempa tomat, lulut, dan pari Jawa yang usianya sekitar enam bulan kini jenis padi lebih banyak usia panen hanya 3 bulan. Sehingga tidak cocok lagi dengan siklus kehidupan burung-burung kecil mulai dari perkawinan, membuat sarang, bertelur, mengerami, dan memberi makan. Saat telur menetas menjadi piyik (anak burung) justru orangtua mereka kehilangan sumber pakan karena padi telah dipanen.
Keadaan seperti ini juga dialami oleh burung-burung lainnya seperti sri gunting, sriti, wallet, kutilang, dan jalak yang menyantap serangga seperti belalang dan sejenisnya. Pemakaian pestisida banyak membunuh serangga bahkan yang masih hidup telah terkontaminasi pestisida sehingga meracuni burung yang menyantapnya. Matilah mereka secara mengenaskan. Jika selamat pun mereka terancam penjaringan untuk dijual.
0 0 0
Bosan dengan perkutut yang mahal, lalu memelihara tekukur dan kutilang. Lalu ganti lagi dengan gagak dan burung hantu bahkan alap-alap. Sedikit demi sedikit burung-burung tersebut pun mulai menghilang dari lingkungan perdesaan.
Manusia yang terus ingin merasakan suasana baru kini beralih ingin memelihara burung-burung kecil seperti kacamata, cimblek, encit, dan sejenisnya. Lihat saja di pasar burung. Mudah sekali menemukannya dengan harga di atas 800 ribu perekor. Burung-burung ini masih sulit ditangkarkan selain didapatkan dengan cara menjebak dengan pulut atau lem dari getah pohon.
Nasib mengenaskan ini juga dialami oleh hewan lainnya seperti musang, garangan (sejenis musang kecil berwarna merah kecoklatan), biawak (Jawa: nyambik), bulus (penyu air tawar), dan ayam alas. Selain akibat diburu juga terputusnya ekosistem dengan berkurangnya bahkan hilangnya pasokan konsumsi mereka akibat pestisida.
Bukan hanya di sawah dan kebun hilangnya burung dan hewan tetapi juga di sekitar dan dalam rumah. Ini juga akibat perubahan gaya hidup manusia. Pada tahun 2000an masih banyak keluarga yang memasak dengan menggunakan kayu bakar dan minyak tanah yang asapnya secara tak langsung mengusir nyamuk.
Kini, kayu bakar dan minyak tanah ditinggalkan diganti dengan LPG yang berasap sehingga membuat nyamuk dari ladang dan kebun betah tinggal di dalam rumah. Orang yang tinggal di dalam rumah tentu ingin mengusir nyamuk dan teman-temannya. Caranya dengan menggunakan obat nyamuk bakar dan insektisida.
Akibatnya bukan hanya nyamuk yang mati tetapi juga jangkerik yang biasa tinggal di balik lemari, kursi, dan perlengkapan rumah tangga lainnya.
Suasana syahdu, tenang, sunyi, dan damai masih cukup terasa di sawah di pinggiran sungai dan hutan. Mendengar kicauan burung dan nyanyian hewan kecil diiringi gemercik air sungai atau mata air adalah suara alami yang indah.
Suasana seperti ini tetap lestari jika semua ikut menjaga ekosistem. Pembangunan komplek perumahan tetap harus menjaga lingkungan bukan sekedar memenuhi kebutuhan apalagi hanya untuk bisnis properti belaka.
Lestari alamku....
Rahayu...rahayu...rahayu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H