Nasib mengenaskan ini juga dialami oleh hewan lainnya seperti musang, garangan (sejenis musang kecil berwarna merah kecoklatan), biawak (Jawa: nyambik), bulus (penyu air tawar), dan ayam alas. Selain akibat diburu juga terputusnya ekosistem dengan berkurangnya bahkan hilangnya pasokan konsumsi mereka akibat pestisida.
Bukan hanya di sawah dan kebun hilangnya burung dan hewan tetapi juga di sekitar dan dalam rumah. Ini juga akibat perubahan gaya hidup manusia. Pada tahun 2000an masih banyak keluarga yang memasak dengan menggunakan kayu bakar dan minyak tanah yang asapnya secara tak langsung mengusir nyamuk.
Kini, kayu bakar dan minyak tanah ditinggalkan diganti dengan LPG yang berasap sehingga membuat nyamuk dari ladang dan kebun betah tinggal di dalam rumah. Orang yang tinggal di dalam rumah tentu ingin mengusir nyamuk dan teman-temannya. Caranya dengan menggunakan obat nyamuk bakar dan insektisida.
Akibatnya bukan hanya nyamuk yang mati tetapi juga jangkerik yang biasa tinggal di balik lemari, kursi, dan perlengkapan rumah tangga lainnya.
Suasana syahdu, tenang, sunyi, dan damai masih cukup terasa di sawah di pinggiran sungai dan hutan. Mendengar kicauan burung dan nyanyian hewan kecil diiringi gemercik air sungai atau mata air adalah suara alami yang indah.
Suasana seperti ini tetap lestari jika semua ikut menjaga ekosistem. Pembangunan komplek perumahan tetap harus menjaga lingkungan bukan sekedar memenuhi kebutuhan apalagi hanya untuk bisnis properti belaka.
Lestari alamku....
Rahayu...rahayu...rahayu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H